Halaman

Kamis, 26 November 2015

Daya Juang Petarung Politik 2014-2019, sampai tetes darah terakhir vs hingga kucur Rp terakhir

Daya Juang Petarung Politik 2014-2019, sampai tetes darah terakhir vs hingga kucur Rp terakhir

Belum ada laporan resmi, apalagi ditayangkan di media masa disertai dialog, diskusi, debat di media penyiaran televisi, tentang hasil survei yang menunjukkan daya juang politik di kutub KIH maupun di kutub KMP. Apakah ada perbedaan yang mencolok, dengan istilah signifikan. Apakah serupa tapi tak sewajah. Apakah sama bentuk tapi beda ukuran. Apakah sama luas tapi beda ketebalan.

Secara sporadis, banyak pakar, pemikir, ahli otak-atik situasi, pengamat lokal, pemerhati nasib bangsa, dengan dalih masing-masing seolah mampu membaca peta politik 2014-2019. Beda dengan awak media masa, lebih suka memberitakan kejadian perkara yang atraktif, agitatif, provokatif. Sesuai pesan sponsor, demi peringkat dan nilai komersial.

Jargon Revolusi Mental yang didendangkan, didengungkan, disuarakan oleh Jokowi-JK sebagai langkah antisipatif, preventif dan proaktif menghadapai daya juang kawanan parpolis di periode 2014-2019. Jokowi dengan nalar, naluri, insting Jawa-nya sudah bisa “melihat” tabiat kawanan parpolis pendukungnya maupun ‘lawan politik’nya. Perombakan Kabinet Kerja sebagai bukti politik balas jasa salah orang. Yang aman karena ada sangkut paut biologis dengan salah satu Proklamator.

Jokowi paham betul bagimana memberlakukan binatang yang disebut babi. Menghadapi politik, Jokowi ibarat mengelola babi. Jokowi dengan daya terawang ala wong Solo, bisa “membaca” bahasa tubuh kawanan parpolis yang praktek sebagai penyelenggara negara.

Babi jika didorong pantatnya biar bergerak maju, diharapkan menapak ke depan, malah melawan dengan melangkah mundur. Minimal diam bertahan di tempat. Tapi, babi jika ditarik ekornya, serta merta, spontan malah bergerak maju, melangkah cepat ke depan. Ingin melepaskan diri. Walau tak meloncat. Apa jadinya kalau babi dibiarkan saja, bebas melakukan apa saja.

Singkat kata, tabiat yang diperlihatkan oknum Sekjen Parpol Nasdem, perilaku yang dipertontonkan komandan Senayan, di luar maupun di dalam negeri, menurut bahasa Orba adalah semangkin membuktikan betapa daripada daya juang petarung politik 2014-2019. Daripada berjuang sampai tetes darah terakhir, lebih baik menadah Rp hingga daripada kucur terakhir, peras Rp. Jangan sampai seperti saya, kata pak Harto, tak punya uang se-sén-pun pasca lengser keprabon. Bisa terjadi di DPR RI “susu setitik kalah oleh nila sebelanga”.

Kita masih ingat, betapa masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih di pesta demokrasi 2014 semakin cerdas dan melek politik, mensiasati kondisi pemilu legislatif dengan asas NPWP (nomer piro wani piro), suara mempunyai harga jual. Jadi, asas timbal balik ini semakin mengkokohkan fenomena bahwa kandidat dan tim sukses memanfaatkan kondisi jual beli suara, secara tak langsung membuktikan daya juang kandidat  tidak siap untuk bertarung dalam pesta demokrasi.

Argo politik uang kandidat mulai saat di internal parpol ketika terjadi jual beli nomer urut kandidat. Persaingan antar kandidat dalam dapil yang bersangkutan disebabkan jatah kursi legislatif sangat terbatas dan sudah ditetapkan dalam UU.

Andai terjadi jual beli program antara kandidat dengan calon pemilih di dapilnya, hanya sebatas pemanis transaksi. Atau tergantung seberapa banyak modal dan umpan yang dikorbankan dengan hasil tangkapan nantinya.

Sebetulnya banyak fenomena gejolak, gaduh, gempa politik yang tidak tertangkap radar rakyat. Atau rakyat hanya berdoa, agar perjalanan bangsa, negara dan masyarakat selamat sampai tujuan. Jangan sampai terulang Jokowi turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo, ganti kendaraan menuju tempat yang rumputnya nampak lebih hijau, ranum dan menyegarkan. Jangan terjadi lagi Jokowi mengulang frasa ‘tinggal gelanggang, colong playu’. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar