Daya Juang Petarung Politik 2014-2019, sampai
tetes darah terakhir vs hingga kucur Rp terakhir
Belum ada laporan resmi, apalagi ditayangkan di media
masa disertai dialog, diskusi, debat di media penyiaran televisi, tentang hasil
survei yang menunjukkan daya juang politik di kutub KIH maupun di kutub KMP.
Apakah ada perbedaan yang mencolok, dengan istilah signifikan. Apakah serupa
tapi tak sewajah. Apakah sama bentuk tapi beda ukuran. Apakah sama luas tapi
beda ketebalan.
Secara sporadis, banyak pakar, pemikir, ahli otak-atik
situasi, pengamat lokal, pemerhati nasib bangsa, dengan dalih masing-masing
seolah mampu membaca peta politik 2014-2019. Beda dengan awak media masa, lebih
suka memberitakan kejadian perkara yang atraktif, agitatif, provokatif. Sesuai
pesan sponsor, demi peringkat dan nilai komersial.
Jargon Revolusi Mental yang didendangkan, didengungkan,
disuarakan oleh Jokowi-JK sebagai langkah antisipatif, preventif dan proaktif
menghadapai daya juang kawanan parpolis di periode 2014-2019. Jokowi dengan
nalar, naluri, insting Jawa-nya sudah bisa “melihat” tabiat kawanan parpolis pendukungnya
maupun ‘lawan politik’nya. Perombakan Kabinet Kerja sebagai bukti politik balas
jasa salah orang. Yang aman karena ada sangkut paut biologis dengan salah satu
Proklamator.
Jokowi paham betul bagimana memberlakukan binatang yang
disebut babi. Menghadapi politik, Jokowi ibarat mengelola babi. Jokowi dengan
daya terawang ala wong Solo, bisa “membaca” bahasa tubuh kawanan parpolis yang praktek sebagai
penyelenggara negara.
Babi jika didorong pantatnya
biar bergerak maju, diharapkan menapak ke depan, malah melawan dengan melangkah
mundur. Minimal diam bertahan di tempat. Tapi, babi jika ditarik ekornya, serta merta, spontan
malah bergerak maju, melangkah cepat ke depan. Ingin melepaskan diri. Walau tak
meloncat. Apa jadinya kalau babi dibiarkan saja, bebas melakukan apa saja.
Singkat kata, tabiat yang diperlihatkan oknum Sekjen Parpol
Nasdem, perilaku yang dipertontonkan komandan Senayan, di luar maupun di dalam
negeri, menurut bahasa Orba adalah semangkin membuktikan betapa daripada daya
juang petarung politik 2014-2019. Daripada berjuang sampai tetes darah
terakhir, lebih baik menadah Rp hingga daripada kucur terakhir, peras Rp.
Jangan sampai seperti saya, kata pak Harto, tak punya uang se-sén-pun pasca lengser keprabon. Bisa terjadi di DPR RI “susu setitik kalah oleh nila
sebelanga”.
Kita masih ingat, betapa masyarakat yang sudah mempunyai
hak pilih di pesta demokrasi 2014 semakin cerdas dan melek politik, mensiasati
kondisi pemilu legislatif dengan asas NPWP (nomer piro wani piro), suara
mempunyai harga jual. Jadi, asas timbal balik ini semakin mengkokohkan fenomena
bahwa kandidat dan tim sukses memanfaatkan
kondisi jual beli suara, secara tak langsung membuktikan daya juang kandidat tidak siap untuk bertarung dalam pesta
demokrasi.
Argo politik uang
kandidat mulai saat di internal parpol ketika terjadi jual beli nomer urut
kandidat. Persaingan antar kandidat dalam dapil yang bersangkutan disebabkan
jatah kursi legislatif sangat terbatas dan sudah ditetapkan dalam UU.
Andai terjadi jual
beli program antara kandidat dengan calon pemilih di dapilnya, hanya sebatas
pemanis transaksi. Atau tergantung seberapa banyak modal dan umpan yang
dikorbankan dengan hasil tangkapan nantinya.
Sebetulnya banyak
fenomena gejolak, gaduh, gempa politik yang tidak tertangkap radar rakyat. Atau
rakyat hanya berdoa, agar perjalanan bangsa, negara dan masyarakat selamat
sampai tujuan. Jangan sampai terulang Jokowi turun di tengah jalan sebelum
jatuh tempo, ganti kendaraan menuju tempat yang rumputnya nampak lebih hijau,
ranum dan menyegarkan. Jangan terjadi lagi Jokowi mengulang frasa ‘tinggal
gelanggang, colong playu’. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar