Halaman

Sabtu, 17 Maret 2018

PR Besar Bangsa, Mencari Sosok Presiden Kedelapan RI



PR Besar Bangsa, Mencari Sosok Presiden Kedelapan RI

Kita bukan bangsa keledai. Ujaran kebohongan untuk menutupi bau bangkai. Ujaran kebencian untuk memanipulasi aroma bau bunga bangkai.

Ingat peribahasa yang tak kenal basi “Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah”. Tak berlaku di kalangan istana. Dimodifikasi menjadi “lebih baik berkalang bangkai hidup, namun pandai bercermin”.

Bercermin tidak sama dengan melihat foto diri. Bahkan keterbalikan, antara kanan dengan kiri. Di cermin, tampak diri kita hidup. Bukan bangkai hidup yang dikemas agar tampak atraktif.

Kebanyakan manusia bercermin untuk mematut diri karena akan tampil. Bercermin dengan mengedepankan akalnya untuk mencari pembenaran atas segala tindakannya, tampilannya. Di momen inilah manusia serba merasa bisa.

Ho no co ro ko . . . yang mendunia. Manusia politik menjadi “mati” hati nurani ketika di pangku. Tidak bisa vokal. Tidak bisa nyinyir, nyonyor. Maunya nyosor. Sisanya, dengan sedikit sanjungan, menjadi lupa diri. Mati kutu. Kelamaan tidak ada yang menyanjung, tanpa sungkan memuji diri sendiri.

Memasuki musim pancaroba, tahun politik 2018 dan 2019, pihak berkentingan menjadi kalang kabut. Urusan menjadi jelas ketika berurusan dengan tanah, berkalang tanah.

Akankah kita bangga dengan sebutan bangsa keledai ditambah gila hormat, gila sanjung, gila rayu. Yang selalu ingin di pangku Ibu Pertiwi, dininabobokan oleh rayuan lagu non-nasional.

Di pihak lain, rakyat sudah siaga dengan segala perubahan. Pergantian mulai dari atas. Ikan busuk mulai dari kepala. Ingat kasus tanjakan Emen.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar