PR Besar Bangsa,
Mencari Sosok Presiden Kedelapan RI
Kita bukan bangsa keledai. Ujaran
kebohongan untuk menutupi bau bangkai. Ujaran kebencian untuk memanipulasi
aroma bau bunga bangkai.
Ingat peribahasa yang tak kenal
basi “Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah”. Tak
berlaku di kalangan istana. Dimodifikasi menjadi “lebih baik berkalang bangkai
hidup, namun pandai bercermin”.
Bercermin tidak sama dengan
melihat foto diri. Bahkan keterbalikan, antara kanan dengan kiri. Di cermin,
tampak diri kita hidup. Bukan bangkai hidup yang dikemas agar tampak atraktif.
Kebanyakan manusia bercermin untuk
mematut diri karena akan tampil. Bercermin dengan mengedepankan akalnya untuk
mencari pembenaran atas segala tindakannya, tampilannya. Di momen inilah
manusia serba merasa bisa.
Ho no co ro ko . . . yang mendunia. Manusia politik menjadi “mati”
hati nurani ketika di pangku. Tidak bisa vokal. Tidak bisa nyinyir, nyonyor. Maunya nyosor. Sisanya, dengan sedikit sanjungan, menjadi lupa
diri. Mati kutu. Kelamaan tidak ada yang menyanjung, tanpa sungkan memuji diri
sendiri.
Memasuki musim pancaroba, tahun
politik 2018 dan 2019, pihak berkentingan menjadi kalang kabut. Urusan menjadi
jelas ketika berurusan dengan tanah, berkalang tanah.
Akankah kita bangga dengan
sebutan bangsa keledai ditambah gila hormat, gila sanjung, gila rayu. Yang selalu
ingin di pangku Ibu Pertiwi, dininabobokan oleh rayuan lagu non-nasional.
Di pihak lain, rakyat sudah siaga
dengan segala perubahan. Pergantian mulai dari atas. Ikan busuk mulai dari
kepala. Ingat kasus tanjakan Emen.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar