Halaman

Sabtu, 03 Maret 2018

Korban Iklan vs Korban Kebijakan



Korban Iklan vs Korban Kebijakan

Kepedulian pemerintah terhadap nasib dan urusan dapur rakyat (keluarga, rumah tangga), dibuktikan antara lain dengan impor bumbu dapur, yaitu garam. Agar jangan sampai tempe lauk khas rakyat, menghilang dari pasar tradisional, pemerintah menetapkan kebijakan pro-rakyat yaitu dengan berat hati terpaksa impor kedelai.

Masih terkait dengan urusan perut, dengan dalih agar ketersediaan beras dalam negeri mencukupi, perlu ditambah dengan beras impor. Apalagi lauk yang klasnya di atas tempe, sangat dimungkinkan untuk impor sapi.

Selain untuk kesehatan perut, pemerintah menyerahkan urusan ini ke pihak lain dan terserah mekanisme pasar. Khususnya kebutuhan akan obat. Bukannya pemerintah lepas dan akan cuci tangan. Tidak ada standar kebuituhan akan obat per orang per tahun.

Yang bisa disurvei BPS adalah pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Bahkan rumah tangga miskin (RTM), bisa dilacak belanja untuk kesehatan. Jika ada fakta belanja konsumsi rokok yang merajai. Berarti siaran pariwara, iklan melalui media massa atau media lainnya, berhasil dengan gemilang.

Tak salah kalau rakyat mengkomsumsi obat seperti orang yang merokok, sama-sama sebagai gaya hidup. Tepatnya, korban iklan. Kendati pihak pabrik sudah memperingatkan akan bahaya merokok.

Rokok yang berbahan baku daun tembakau, sejaiuh ini aman-aman saja dari kategori meragukan. Atau belum masuk kategori haram sesuai syariat Islam. Secara ekonomis, rokok menguntungkan pengusaha. Tak heran, orang kaya Indonesia berkat jasa tembakau yang diolah menjadi rokok. Tak demikian halnya dengan nasib petani tembakau.

Akibat perokok aktif maupun perokok pasif, dunia kedokteran mengalami perubahan dan kemajuan. Kendati belum ada Rumah Sakit Khusus Korban Rokok.

Bicara soal obat, sepertinya Badan Sensor Obat, kurang menggigit. Atau dengan mengeluarkan sertifikat halal, dirasa cukup. Atau mengambil sampel atau contoh  obat produksi baru.

Jika di pasar bebas, warung rakyat, setelah sekian tahun terdapat peredaran obat yang kandungannya mengandung unsur dari zat haram, semacam enzim babi atau ada unsur DNA babi, pemerintah pasti peduli. Sebagai pembelajaran bagaimana kearifan pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya.

Artinya, kebijakan pemerintah memberi peluang usaha dan ruang gerak usaha bagi prosuden, pengusaha obat, wajar. Dalih lain, agar industri farmasi dalam negeri tetap eksis. Yang tidak wajat jika pemerintah seolah melakukan pembiaran terhadap penggunaan zat haram atau yang meragukan atau berdampak negatif sebagai unsur atau komponen obat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar