Korban
Iklan vs Korban Kebijakan
Kepedulian pemerintah
terhadap nasib dan urusan dapur rakyat (keluarga, rumah tangga), dibuktikan
antara lain dengan impor bumbu dapur, yaitu garam. Agar jangan sampai tempe lauk
khas rakyat, menghilang dari pasar tradisional, pemerintah menetapkan kebijakan
pro-rakyat yaitu dengan berat hati terpaksa impor kedelai.
Masih terkait
dengan urusan perut, dengan dalih agar ketersediaan beras dalam negeri
mencukupi, perlu ditambah dengan beras impor. Apalagi lauk yang klasnya di atas
tempe, sangat dimungkinkan untuk impor sapi.
Selain untuk
kesehatan perut, pemerintah menyerahkan urusan ini ke pihak lain dan terserah
mekanisme pasar. Khususnya kebutuhan akan obat. Bukannya pemerintah lepas dan
akan cuci tangan. Tidak ada standar kebuituhan akan obat per orang per tahun.
Yang bisa
disurvei BPS adalah pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Bahkan rumah
tangga miskin (RTM), bisa dilacak belanja untuk kesehatan. Jika ada fakta
belanja konsumsi rokok yang merajai. Berarti siaran pariwara, iklan melalui
media massa atau media lainnya, berhasil dengan gemilang.
Tak salah kalau
rakyat mengkomsumsi obat seperti orang yang merokok, sama-sama sebagai gaya
hidup. Tepatnya, korban iklan. Kendati pihak pabrik sudah memperingatkan akan
bahaya merokok.
Rokok yang
berbahan baku daun tembakau, sejaiuh ini aman-aman saja dari kategori
meragukan. Atau belum masuk kategori haram sesuai syariat Islam. Secara
ekonomis, rokok menguntungkan pengusaha. Tak heran, orang kaya Indonesia berkat
jasa tembakau yang diolah menjadi rokok. Tak demikian halnya dengan nasib
petani tembakau.
Akibat perokok
aktif maupun perokok pasif, dunia kedokteran mengalami perubahan dan kemajuan. Kendati
belum ada Rumah Sakit Khusus Korban Rokok.
Bicara soal obat,
sepertinya Badan Sensor Obat, kurang menggigit. Atau dengan mengeluarkan
sertifikat halal, dirasa cukup. Atau mengambil sampel atau contoh obat produksi baru.
Jika di pasar
bebas, warung rakyat, setelah sekian tahun terdapat peredaran obat yang
kandungannya mengandung unsur dari zat haram, semacam enzim
babi atau ada unsur DNA babi, pemerintah pasti peduli. Sebagai pembelajaran
bagaimana kearifan pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya.
Artinya,
kebijakan pemerintah memberi peluang usaha dan ruang gerak usaha bagi prosuden,
pengusaha obat, wajar. Dalih lain, agar industri farmasi dalam negeri tetap
eksis. Yang tidak wajat jika pemerintah seolah melakukan pembiaran terhadap
penggunaan zat haram atau yang meragukan atau berdampak negatif sebagai unsur
atau komponen obat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar