sinar
bulan 13 Rajab 1439 mengajakku tahajud
Banyak pasal untuk mengeles,
menghindar, membuat alibi agar lelap malam, tanpa gangguan berarti. Tapi bagaimana
dengan niat bangun di akhir sepertiga malam. Waktu tidur di atur, jangan larut
malam.
Alarm diri, yang bersemayam di
tubuh, yang sudah diasah sejak dalam kandungan. Bekerja tanpa kompromi dan bisa
menyesuaikan dengan waktu sholat lima waktu. Tinggal kita, mau mendengarkan
kata hati atau cari alasan yuridis.
Sehari berkutat dengan computer,
nebeng di kantor isteri. Wifi gratis. Tengah malam baru merebahkan badan di
atas pulau kasur. Besok libur. Biasa, bahkan saya libur tiap hari. Pensiunan yang
tetap bekerja apapun.
Jendela kaca menghadap ke barat,
sengaja tak ditutup korden. Melihat luar untuk control waktu dan cuaca. Sambil melihat
pepohonan, atap rumah tetangga. Pencahayaan memanfaatkan lampu jalan.
Ritual sebelum tidur sudah
dilakukan. Angan-angan berkecamuk, antara bisa tahajud, lanjut subuh di masjid,
lanjut jalan pagi. Semua kuserahkan ke mekanisme pasar. Tergantung Dzat yang
memegang jiwaku. Karena besok pagi bukan hak, wajib siap hadapi laga harian. Palagan
malam menentukan jiwa raga.
Sehari lingkungan tempat tinggal
hanya kebagian hujan ala kadarnya. Belum mampu membersihkan debu yang melekat
di dedaunan. Jalan masih kering atau sudah mengering.
Saat tidur terlentang, mata seperti
melihat sesuatu. Ternyata sinar rembulan. Posisi tidur beralih miring ke kanan.
Entah berapa jam. Semakin lelap karena mata menatap rembulan sambil dipejamkan
rapat. Terdengar penjaga malam pukul tiang listrik 4x.
Dasar watak, masih menego diri. Tambah
beberapa saat. Tahu-tahu ada suara dari masjid. Tidak sempat tahajud. Bergegas ke
masjid. Masih ada waktu 10 menit jelang azan subuh. Terasa ada yang hilang atau
malah sekaligus mempunyai hutang yang tak mungkin terbayar. Jalan pagi usai
subuh, tetap dilakukan, sambil dzikir. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar