demokrasi
plus minus parpol, sarat perasa buatan, pewarna pakaian atau zat pengawet
Apapun bahan baku
demokrasi ala NKRI, tak akan lepas dari modal dasar yang dihabiskan oleh pelaku
utamanya. Apa saja modal dasar yang disandang para pelaku dimaksud. Bukankah
sejauh ini andalan oknum kawanan parpolis adalah syahwat politik.
Modal dasar minimal
adalah memang merek vs merek menang, tinggal melanjutkan keringat moyangnya.
Bagi yang modal keringat dw, tentu tak mau rugi sendiri. Kalau bisa
meraup untuk seoptimal mungkin, kenapa harus ala kadarnya. Kalau bisa sekarang
menyedot manfaat kursi kekuasaan, kenapa harus menunggu hari esok lebih cerah.
Pesta demokrasi lima
tahunan menjadi ajang tepuk dada adu selera. Modal pas-pasan atau hanya
berharap dipinang bandar politik pasar bebas dunia. Idealisme pejuang politik
masih sebatas di atas kertas. Atau malah masih diolah di angan-angan, ambisi
dan fantasi politiknya.
Jangan-jangan, bumbunya
apa, modal fatamorgana berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) kemudian
dihitung mundur, akhirnya menemukan ramuan ajaib bak revolusi mental. Makanya
mental penguasa seolah merasa kebal hukum. Aji mumpung vs mumpung aji.
Tidak salah dan tidak
layak disalahkan jika anak bangsa bisanya hanya mendaur ulang ideologi yang
sudah usang. Pikirnya, barang bekas kualitas impor serasa mendongkrak gengsi,
harga diri dan citra diri.
Jangan lupa, periode
2014-2019 diwarnai demokrasi pengharu rasa dan/atau demokrasi menghiba-hiba.
Sedikit menyengat rasa bumbu penistaan agama lain oleh oknum penyelenggara
negara anak emas Jokowi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar