berita yang benar dan baik versi revolusi mental
Berita
lisan yang disampaikan oleh pembawa acara di media televisi, acap “melebihi”
siarang langsung di tempat kejadian perkara atau tayangan fotonya, mungkin
kebanyakan bumbu penyedap rasanya.
Siaran
langsung pertandingan sepak bola klas dunia, walau dengan pengantar bahasa
lokal atau internasional, tak menyurutkan penggila bola Indonesia untuk
menikmatinya. Pemirsa lebih mengandalkan mata. Penonoton laga bola sudah tahu
dan hafal pemain klas dunia atau minimal club papan atas.
Nonton
bareng laga bola liwat layar kaca raksasa, sorak sorainya bisa melebihi penonton
langsung.
Media
massa memang mahir mengolah berita, mengulas berita. Sampai memanipulasi
berita. Berita bohong alias hoax yang menjadi konsumsi umum, memang
bukan karya jurnalistik.
Jika
sudah mentok, maka dengan mudah pihak pengatur media massa akan mencari kambing
hitam. Media massa berfungsi dinamis, tergantung dati nilai jual beli berita.
Untuk
keopentingan penguasa maka berlaku pasal pilih kasih dan pilah kisah. Bukan sekedar
ABS (asal bapak senang), lebih dari itu. Menjaga wibawa negara di mata negara
lain. Jaga gengsi atau jual aksi agar tampak layak tanding.
Sampai
jangan sampai investor asing tidak merasa tertarik dan yakin dengan daya juang
pejuang ideologi di periode 2014-2019. Apalagi ada pihak nasionalis dan
pancasilais yang sudah dibarter, dicarter oleh pemain politik klas dunia. Pertandingan
semaki seru. Jadinya pesta demokrasi 2019 yang merupakan pemilihan serentak pemilihan
umum legislatif dengan pemilihan presiden. Seolah menjadi laga kandang
sekaligus laga tandang.
Ironis
binti miris, banyak orang dan/atau manusia Nusantara jika mengkonsumsi berita
yang benardan baik, justru merasa dirinya menjadi bodoh. Sebaliknya, jika
dirinya diasupi berita yang kebalikan dari benar dan baik, malah merasa bangga.
Merasa bagian dari penguasa yang sedang Berjaya, yang sedang naik daun. Bahkan merasa
lebih kuasa daripada penguasa formal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar