Indonesia mau ngetop dengan ngèpot
Tak
ada yang patut dipersalahkan, atau minimal layak diduga melakukan kesalahan
secara terencana atau dengan faktor kesengajaan. Bentuk kelalaian akibat faktor
manusiawi, masih bisa dimaklumi. Ingat bangsa kita adalah bangsa pemaklum.
Aneka
ragam budaya ada di pangkuan ibu Pertiwi. Semua versi, ragam tersaji. Agaknya budaya
jalan pintas banyak animonya.
Budaya
jalan pintas karena budaya antri sudah usang atau ketinggalan zaman. Daftar tunggu
haji memang identik dengan pola budaya antri secara pasif. Antri dari bagian
sistem karir tidak cocok dengan jiwa generasi muda yang dinamis, serba cepat
alias penganut budaya instan.
Agaknya
yang dominan dan seolah berlaku resmi dan diakui oleh penguasa adalah budaya
instan. Bahkan kalau dilacak proses demokrasi yang ada di NKRI, berbasis budaya
instan. Daya tarik kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadikan orang
dan/atau manusia Indonesia harus berjibaku. Semua peras otak atur strategi demi
kepentingan diri sendiri.
Idealisme
tidak bisa diwujudkan liwat jalur politik. Semangat nasionalisme, patriotisme bela
negara hanya muncul pada saat mewakli NKRI di gelanggang internasional. Minimal
di kancah regional semisal ASEAN.
Kompromi
politik menyebabkan penguasa dengan leluasa bisa “menjual negara”. Atau kandidat,
bakal calon presiden untuk mewujudkan “idealisme”-nya seolah tidak merasa
berslah jika melakukan transaksi politik dengan negara paling bersahabat. Dengan
negara yang secara historis telah berkontribusi pada gerakan dan dinamika
politik Nusantara.
Lalu
lintas saja sudah tampak, betapa pengendara motor gede atau bagaimana mobil dengan
dapur pacu untuk balap, merasa tak betah dengan antrian.
Beredar
resminya sebuah parpol jelang pemilu dan jika berhasil mendapat kursi wakil
rakyat, maka akan bertindak melampaui sang penguasa. Karena dalam waktu relative
singkat bisa mendadak tenar, merasa punya pamor. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar