Halaman

Rabu, 30 Desember 2020

demokrasi kontraktual, keterpilihan kepala daerah di bawah suara golput

 demokrasi kontraktual, keterpilihan kepala daerah di bawah suara golput

 Semenjak bangsa ini mengenal pilkada serentak. Golongan putih poduk sampingan era Orde Baru, mengalami pergeseran, perubahan makna. Refleksi dari modal politik peserta. Dinasti politik yang masih eksis, tidak kekurangan cikal bakal, jago aduan. Kandidat tiban, dadakan, karbitan, titipan, tukar guling, barter maupun kader janggut akan menentukan sehatnya demokrasi.

 Fenomena calon tunggal kian menggambarkan demokrasi sesungguhnya. Berapa persen kader partai yang berani maju, terpilih walaupun dengan status wakil kepala daerah. Pasal putra-putri asli daerah yang berkesempatan ikut pilkada, menjadi PR besar bangsa. Disparitas politik menambah rangkaian dan jenjang kesenjangan antar daerah.

 Kabupaten/kota dan atau provinsi karena potensi SDM dan keunggulan wilayah di bawah standar nasional, secara politis menjadi beban negara, negara dalam negara. Dikarenakan di bawah satu kendali secara turun temurun. Elit lokal, kolaborasi pengusaha, tokoh masyarakat, tokoh etnis, tokoh adat, tokoh agama plus pemain bayaran yang menentukn nasib daerah di maksud. Otonomi daerah memperkuat daya cengkeram pemegang otoritas politik.

 Akan terjadi pemerintah de jure dan pemerintah de facto di setiap periode. Antara pemerintah siang dengan pemerintah malam terjadi sinergi dan saling menguntungkan. Mufakat untuk tidak mufakat menjadi ciri. Pembagian wilayah kerja, daerah operasional; penguasaan pasar gelap terjaga secara dinamis. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar