Halaman

Rabu, 30 Desember 2020

wong cilik, komoditas politik kawanan pencari nikmat kursi

 wong cilik, komoditas politik kawanan pencari nikmat kursi

 Wong cilik di negara Amerika Serikat tetap menjadi langganan obyek kampanye calon presiden. Masing-masing pihak berseteru mencari celah, peluang atau pendekatan yang berbeda. Bedanya status wong cilik dengan di NKRI. Varian, versi, subversi wong cilik di sana tergantung sebagai kebutuhan obyek janji politik.

 Sebut saja wong cilik identik kaum imigran gelap, beda warna kulit, pekerja musiman, minoritas, suku aseli, pemukim liar dan illegal, dsb. Kendati sama-sama pakai pasal HAM, tetap saja tidak mengubah nasib wong cilik. Dua partai politik, Demokrat dan Republik, menjadikan satu periode 4 tahun, konsolidasi nasional teruji. Yahudi tetap pegang kendali.

 Status statis wong cilik di nusantara, lebih bersifat stigmatif. Khususnya di hadapan hukum. Secara politis golongan masyarakat yang mapan, dengan mudah berbalik nasib menjadi pesakitan. Gara-gara beda pilihan. Atau kelompok masyarakat secara teritorial tidak sesuai atau bertentangan dengan kebijakan lokal apalagi nasional.

 Efektivitas praktik tanah-air. Daya jangkau aksi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah menjadi dalih, dalil formal penguasa plus pengusaha untuk melakukan hukum rimba tak bertuan “tembak di tempat” untuk mempercepat proses hukum.

 Ikhwal pasal lain. Di jalan protokol, jalan negara, jalan bebas hambatan bisa menjadi ajang main hukum ramai-ramai. Tidak pakai proses, serba cepat. Bukti menyusul. Ketika “kotak kosong” mengalahkan calon tunggal. Saatnya suara golput di atas perolehan suara kandidat tiban. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar