Halaman

Minggu, 20 Desember 2020

rangkaian babakan kehidupan manusia, berdasarkan kerangka angan-angan

rangkaian babakan kehidupan manusia, berdasarkan kerangka angan-angan

 SERBA ‘ANGAN’

Bermula dari menulis sadar risiko lebih sehat daripada duduk berangan-angan. Sebagai penulis indvidu, yang bebas aktif, tak terikat waktu, bukannya lalu bisa santai. Semakin diolah – tepatnya masuk wilayah angan-angan – semakin penasaran. Bisa bias dalam arti “judul” dinamis, ditentukan setelah tulisan jelang pemutakhiran. Merebak biak berkat dukungan beberapa sub-judul, sub-versi. Untuk mewujudkan tulisan layak baca, pantas cerna terkadang tulisan yang sederhana melalui proses yang tidak sederhana.

 Norma kolektif bangsa atau bentuk lain persatuan Indonesia kian terurai. Anak bangsa pribumi yang jelas tulén tanpa oplosan ideologi kamar sebelah, rawan sentuhan ringan. Telinga gatal jika sehari tak dengar kata sanjungan, puja-puji. Sebaliknya, mulut terasa pengap jika tak menghujat, menjilat.

 Ketahanan angan-angan Nusantara. Jangan dipakai pada proses perjuangan semua pihak yang berakhir Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Penemu, peupaya terakhir Indonesia Merdeka, bukan serta merta Nusantara menjadi hak milik atau sebagai harta warisan. Apalagi menentukan biaya politik.

 Tata pangan mbokdé mukiyo, dudu tatap angan-angan. Dunia saja mengurus pangan. Apalagi negara. Sandang, pangan, papan menjadi tolok ukur sejahtera plus sehat suatu bangsa. Nusantara tanpa gembar-gembor sudah membuktikan. Sesuai demokrasi perwakilan. Wujud nyata sejahtera plus sehat sudah terwakili pada kelompok masyarakat tertentu. Pada lokasi terpastikan karena potensi lokasi dan unggulan SDM.

 Seolah terjadi tarung bebas kelas bebas antara penguasa melawan pengusaha. Penguasa atau penyelenggara negara, pejabat publik merupakan manusia politik yang menjabat dalam batas waktu sesuai kontrak politik. Pengusaha merupakan wujudan bakalan manusia ekonomi yang tak terikat oleh waktu dan tempat.

 SIMBOLISASI DUNIA

Bahasa simbolik etnis Jawa “alon-alon waton kelakon” menjadi multitafsir. Dicari enaknya, pakai yang gampang-gampang. Bukan menyalahartikan secara sadar diri yang berdampak kesalahpahaman tapi sama-sama paham.

 Secara simbolik, anak memang harus menggunakan bahasa kromo kepada orang tua. Hakikatnya adalah bentuk penghormatan yang muda kepada yang lebih tua. Pengguna bahasa kromo sulit menghujat orang lain. Tidak mudah mengekspresikan umpatan, makian dengan bahasa kromo.

 Etnis lain punya ungkapan kata mirip umpatan, makian yang justru sebagai simbol keakraban. Hidup tidak sekedar nglakoni urip. Métamorfosis manusia tidaklah. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar