Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) berdampak pada anak bangsa bisa melaksanakan UUD
RI 1945 Perubahan Kedua, pasal 28E, ayat (3) :
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Ikhwal “mengeluarkan
pendapat”, diekspresikan liwat tulisan atau berujar bebas. Sarana atau media
yang dipakai, banyak alternatif pilihan. Terkhusus mendayagunakan manfaat,
peran dan fungsi TIK. Bagi yang berakal sehat, relijius, ekspresi kejiwaan
dinyatakan melalui proses olah otak, aduk
pikir, ramu nalar, campur logika liwat simbol bahasa tulis yang enak dibaca,
mencerdaskan pembaca. Katanya.
Bagi yang
kecerdasannya berlebih, diatas rata-rata, mereka mengekspresikan kemampuan
dalam hal berkomentar. Tidak ada hubungannya dengan komentartor pertandingan
sepak bola. Yang “penonton’ mendengarkan suaranya saja, seolah emosinya terolah
seperti menontot langsung. Inilah hebatnya daya ucap anak manusia. Memang lidah
manusia, bisa lebih tajam daripada silet yang paling tajam di dunia nyata.
Namanya komentar,
antara menjilat dengan menghujat hanya beda tipis. Bahkan bisa dilakukan
sekaligus, bersamaan atau bergantian dalam satu nuansa kebatinan, kejiwaan
terkini. Tampilan TIK, entah apa namanya, apakah yang selama ini disebut media
daring (dalam jaringan) atau sebutan lainnya. Arinya, bukti tertulis bisa
sebagai barang bukti. Namun, sebanyak-banyaknya ulasan, komentar masih kalah
hebat dengan tampilan sebentuk gambar atau foto. Foto sebagai barang bukti. Ada
apa dengan atau dibalik adegan, acara., atraksi yang terekam dalam foto,
komentar terserah sang penglihat.
Sejarah hitam
Nusantara, semakin dipertegas ketika oknum penyelenggara negara tersandung
berbagai pasal pidana. Dipanggil KPK atau terjerat operasi tangan tangan ole
KPK menjadi primadona. Ironis, antar pembantu presiden di kabinet kerja bongkar pasang, saling adu tega. Efek era
megatega, megakasus menjadikan Jokowi berdiri diatas pusaran arus politik yang
siap makan korban, siap menelan korban jika tidak kuat-kuat, waspada dan cerdas membaca sejarah.
Sejarah pancasila
sakti di era Orde Baru, ditulis di buku sekjarah dengan seksama. Risalah atau sejarah
orba sesuai restu penguasa dan pelaku utamanya. Tidak sekedar memancing emosi
pro dan kontra, malah berdampak generasi
pasca orba kehilangan pedoman hidup berbangsa, bernegara, bermasyakat. Efek citra
diri, tidak perlu tepuk dada dengan setumpuk jasa, cukup menunjuk juru bicara
kepresidenan. Sejarah tertulis, diperkuat dengan film dokumenter yang semakin
menyanjung sang penguasa pelaku sejarah. Revolusi 1945 tak akan makan anak
kandungnya sendiri. Revolusi sejarah orba, dengan sistematis memakan,
mengkorbankan pelaku sejarah yang real, aktual dan faktual.
Pasca reformasi
yang dimulai dari klilmaksnya, 21 Mei 1998, maka tepatnya sekarang di periode
2014-2019, kesaksian sejarah bicara apa adanya. Tragis, ada oknum anak bangsa
merasa bangga bahwa KPK adalah dia yang buat. Tapi tidak heran, pusat pusaran
politik tak beridiologi akibat parpol juara umum pesta demokrasi 2014 tidak
siap memang sekaligus tidak punya kader yang layak tanding, layak jual. Kebanyakan
atau dimonisasi segelintir kader yang menang merek. Dengan merek menang lambang kepala kambing hitam nyengir, nyengongos.
Tahun pertama
Jokowi-JK tanpa tedeng aling-aling parpol baru yang mati-matian mendukung
Jokowi-JK sudah menampakkan watak aslinya. Walau sejarah enggan mencatat namun
sudah memperkaya khazanah daya juang pelaku, pemain, pekerja politik Nusantara.
Bongkar pasang
kabinet kerja, kasus anti-korupsi, karhutla, bom waktu reklamasi Jakarta,
pilkada Jakarta 2017, LGBT, konspirasi anti radikalisme, perokok pemula semakin
muda, serta sisanya yang hanya diketahui oleh pelakunya, seolah semakin
memperkaya sejarah hitam Nusantara. Opo tumon.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar