Halaman

Rabu, 21 September 2016

2014-2019, antar kawanan parpol berlomba menghias sejarah hitam Indonesia



Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berdampak pada anak bangsa bisa melaksanakan UUD RI 1945 Perubahan Kedua, pasal 28E, ayat (3) :
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Ikhwal “mengeluarkan pendapat”, diekspresikan liwat tulisan atau berujar bebas. Sarana atau media yang dipakai, banyak alternatif pilihan. Terkhusus mendayagunakan manfaat, peran dan fungsi TIK. Bagi yang berakal sehat, relijius, ekspresi kejiwaan dinyatakan melalui proses  olah otak, aduk pikir, ramu nalar, campur logika liwat simbol bahasa tulis yang enak dibaca, mencerdaskan pembaca. Katanya.

Bagi yang kecerdasannya berlebih, diatas rata-rata, mereka mengekspresikan kemampuan dalam hal berkomentar. Tidak ada hubungannya dengan komentartor pertandingan sepak bola. Yang “penonton’ mendengarkan suaranya saja, seolah emosinya terolah seperti menontot langsung. Inilah hebatnya daya ucap anak manusia. Memang lidah manusia, bisa lebih tajam daripada silet yang paling tajam di dunia nyata.

Namanya komentar, antara menjilat dengan menghujat hanya beda tipis. Bahkan bisa dilakukan sekaligus, bersamaan atau bergantian dalam satu nuansa kebatinan, kejiwaan terkini. Tampilan TIK, entah apa namanya, apakah yang selama ini disebut media daring (dalam jaringan) atau sebutan lainnya. Arinya, bukti tertulis bisa sebagai barang bukti. Namun, sebanyak-banyaknya ulasan, komentar masih kalah hebat dengan tampilan sebentuk gambar atau foto. Foto sebagai barang bukti. Ada apa dengan atau dibalik adegan, acara., atraksi yang terekam dalam foto, komentar terserah sang penglihat.

Sejarah hitam Nusantara, semakin dipertegas ketika oknum penyelenggara negara tersandung berbagai pasal pidana. Dipanggil KPK atau terjerat operasi tangan tangan ole KPK menjadi primadona. Ironis, antar pembantu presiden di kabinet kerja bongkar pasang, saling adu tega. Efek era megatega, megakasus menjadikan Jokowi berdiri diatas pusaran arus politik yang siap makan korban, siap menelan korban jika tidak kuat-kuat, waspada dan cerdas membaca sejarah.

Sejarah pancasila sakti di era Orde Baru, ditulis di buku sekjarah dengan seksama. Risalah atau sejarah orba sesuai restu penguasa dan pelaku utamanya. Tidak sekedar memancing emosi pro dan kontra, malah berdampak generasi pasca orba kehilangan pedoman hidup berbangsa, bernegara, bermasyakat. Efek citra diri, tidak perlu tepuk dada dengan setumpuk jasa, cukup menunjuk juru bicara kepresidenan. Sejarah tertulis, diperkuat dengan film dokumenter yang semakin menyanjung sang penguasa pelaku sejarah. Revolusi 1945 tak akan makan anak kandungnya sendiri. Revolusi sejarah orba, dengan sistematis memakan, mengkorbankan pelaku sejarah yang real, aktual dan faktual.

Pasca reformasi yang dimulai dari klilmaksnya, 21 Mei 1998, maka tepatnya sekarang di periode 2014-2019, kesaksian sejarah bicara apa adanya. Tragis, ada oknum anak bangsa merasa bangga bahwa KPK adalah dia yang buat. Tapi tidak heran, pusat pusaran politik tak beridiologi akibat parpol juara umum pesta demokrasi 2014 tidak siap memang sekaligus tidak punya kader yang layak tanding, layak jual. Kebanyakan atau dimonisasi segelintir kader yang menang merek. Dengan merek menang lambang kepala kambing hitam nyengir, nyengongos.

Tahun pertama Jokowi-JK tanpa tedeng aling-aling parpol baru yang mati-matian mendukung Jokowi-JK sudah menampakkan watak aslinya. Walau sejarah enggan mencatat namun sudah memperkaya khazanah daya juang pelaku, pemain, pekerja politik Nusantara.

Bongkar pasang kabinet kerja, kasus anti-korupsi, karhutla, bom waktu reklamasi Jakarta, pilkada Jakarta 2017, LGBT, konspirasi anti radikalisme, perokok pemula semakin muda, serta sisanya yang hanya diketahui oleh pelakunya, seolah semakin memperkaya sejarah hitam Nusantara. Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar