efek domino negara multipartai, dendam politik vs evolusi mukiyo
Hanya terjadi di
Indonesia, aroma irama dinamika kehidupan anak bangsa berpolitik, bukan bagian
integral dari nuansa Pancasila. Rumusan. Lambing tiap sila memang bisa menjadi
landasan ideologi utawa platform
partai politik. Jika NKRI adalah harga mati, tak salah kalau partai politik
adalah benda mati. Bahkan bagaikan berhala yang bisa mendatangkan keberuntungan
bagi pemujanya, atau malah mampu menghadirkan kesialan bagi orang partai yang
tak kuat menahan beban politik.
Efek domino negara
multipartai, sangat terasa sejak pemilu 1999, pasca reformasi yang mulai dari
puncaknya. Anak bangsa yang mendirikan parpol, merasa identik mengantongi tiket
terusan menjadi penguasa negara. Oknum ketua umum merasa berhak maju sebagai
capres. Hakikat penyelenggara negara berubah menjadi penguasa negara, pemilik negara
di hati partai politik yang mempunyai kursi di parlemen Nusantara.
Niatan partai golkar
untuk mencalonkan kadernya pada pesta demokrasi 2019, agar maju sebagai capres.
Aroma irama ini membuktikan betapa jiwa Pancasila yang diterjemahkan ke dalam
jiwa partai, hanya ada di atas kertas saja. Praktiknya, lebih ditentukan oleh
akal, logika, nalar politik yang didominasi oleh nafsu, syahwat politik. “Tidak
ada akar, rotanpun jadi”, menjadi semboyan ideologi golkar. Kemelut internal, banyak
pihak yang yakin diri merasa bisa jadi ketua umum, menjadikan awal titik retak
bangsa. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar