Halaman

Selasa, 06 Mei 2014

Ayo Berburu Tiket Masuk Surga

 Ditulis : Herwin Nur,  05 Mei 2014 | 16:35


Dampak pergantian zaman pada pola interaksi dalam keluarga. Zaman dulu, nenek memberi wejangan ke cucunya, dengan bahasa adat namun terpatri kuat. Mulai jangan berani apalagi melawan orang tua, nanti kuwalat. Digambarkan, kuwalat adalah orang yang berjalan dengan tangannya, kepala di bawah, kaki di atas. Sampai ikhwal bahwa “orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka”, sebagai pitutur yang selalu diulang untuk menasihati anak cucu. 
Surga digambarkan, baru mbatin saja, Allah segera mengabulkan. Susah membayangkan apa itu neraka, orang dimasukkan ke bara api, tidak terbakar, cuma merasakan deritanya. 
Petuah orang tua walau dibalut adat, wajib diingat, yaitu :”salat ojo telat”, maknanya jika kita menegakkan sholat jangan terlambat atau di akhir waktu. “Salat sing bener ben mlebu surgo”, begitu guman nenek usai berwudhu, seolah menasehati dirinya sendiri. Maknanya, tegakkan sholat sesuai rukun dan adabnya, mengikuti sunah Rasul, sebagai cara menuju dan masuk surga. 
Praktek urusan hablum minannas atau hubungan antar manusia, bangsa Indonesia mempunyai seperangkat norma sosial, sederet terjemahan bebas dari budi pekerti serta berbagai bentuk rukun tetangga. Hubungan antar anggota keluarga, khususnya dalam melaksanakan pasal adat  “jangan berani apalagi melawan orang tua” terjalin dengan akrab. Anak sulung diposisikan sebagai pengganti orang tua, untuk urusan tertentu, diterima secara demokratis. 
Bhakti anak ke ibunya, sekuat 3 kali bhakti anak ke  bapaknya serta  surga ada di bawah telapak kaki ibu, menunjukkan Islam memuliakan orang tua sekaligus  mendukung keutuhan keluarga. Dampak akhlak seseorang dalam keluarganya bisa menentukan masa depannya, sesuai sabda Rasulullah saw : “Paling dekat dengan aku kedudukannya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya.” (HR Ar-Ridha). 
Hubungan suami isteri, anak dengan orang tua, antar anak, tergerus oleh peradaban. Akibat tidak bisa berakselerasi dan beradaptasi dengan kemajuan zaman, berakibat hanya dampak negatif yang terserap. Akibat kurang mampu menangkal serbuan budaya asing, berdampak pada gaya hidup, gaul dan gengsi yang meninggalkan akar budaya leluhur yang luhur. Akibat tidak cerdas memilah dan memilih berita yang disampaikan oleh orang fasik, berakibat kehidupan sehari-hari terjajah secara sistematis. 
Orang tua dalam mendidik anaknya hanya mengandalkan pengalamannya, meneruskan apa yang diterimanya sebagai tradisi turun temurun, tanpa melakukan perubahan. Bahkan mengenalkan dan  mengartikan wajib sholat bagi anak ketika menginjak usia tujuh tahun, dengan cara tunggu waktu, tanpa persiapan. Kesibukan duniawi, melupakan faktor ajar dalam keluarga. Anak kurang disiapkan secara terencana, terukur dan dievaluasi. 
Kewajiban pertama orang tua saat memberi nama yang baik untuk anaknya, terkadang asal comot, yang penting gampang diingat, keren,  trendi, beda dengan yang lain, hoki, berklas, tidak murahan maupun komersial. 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah
“Sesungguhnya perkara/amal seorang hamba yang dihisab pertama kali adalah shalatnya. Seandainya (sholatnya) baik, maka benar-benar paling beruntung dan paling sukses, dan seandainya (sholatnya) buruk, maka dia benar-benar akan kecewa dan merugi, dan seandainya kurang sempurna shalat fardlunya, Allah 'azza wa jalla berfirman, 'lihatlah apakah bagi hamba-Ku ini (ada amal) sholat sunnah (mempunyai sholat sunnah) yang bisa menyempurnakan sholat fardlunya,' kemudian begitu juga terhadap amal-amal yang lainnya juga diberlakukan demikian” (HR at-Tirmidzi). 
Sholat yang baik berawal dari akhlak yang baik. Base camp sholat yang baik dibentuk dan dimulai dari masjid, atau dilakukan berjamaah dalam rumah tangga/keluarga. Begitulah, sholat terbaik kita adalah tiket untuk mendapatkan surga [Herwin Nur/Wasathon.com].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar