Industri Politik Dan Pahala Dunia
Ditulis : Herwin Nur, 28 April 2014 | 16:48

Niat dan itikad umat Islam yang mendirikan parpol (partai politik), menjadi ketua umum, masuk kawanan parpol atau hanya sekedar penggembira, dengan kalkulasi dapat meraih kursi lambang kehidupan duniawi sebagai wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala negara ataupun masuk jajaran pejabat publik/penyelenggara negara patut dipertanyakan maupun dievaluasi kembali.
Berlaga di industri politik, rumusan kawanan parpol tak jauh dari fungsi urusan dunia, skala finansial dan stimulus fulus. Industri politik masuk kuadran daerah abu-abu, banyak hal yang samar, mengambang, banyak pasal di antara halal dan haram atau syubhat. Resep halal atau resep haram, hanya beda tipis. Rumusan makna ma’ruf dan munkar, formulasi hakekat yang haq dan yang batil, tergantung lagu wajibnya yaitu : kepentingan. Ironis, .antar parpol sudah sepakat untuk tidak sepakat, peraturan yang dipakai adalah : “tidak ada peraturan”, cara apapun sah dilakukan.
Tolok ukur keberhasilan berjibaku di industri politik hanya berdasarkan jabatan duniawi yang bisa diraih, sebagai hukum sebab akibat, hanya akan bermanfaat bagi yang bersangkutan atau bisa menjadi bumerang. Sadar tak sadar masuk kuadran makna kehidupan duniawi adalah bayangan belaka, dan kehidupan akhiratlah yang kekal dan abadi. Ikhwal ini ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Qashash (28) : 60] : “Dan apa saja[a] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?.”
[a] Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti pangkat, kekayaan, keturunan, dan sebagainya.
Kita memahami bahwa sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Artinya, Allah akan melihat hati manusia : apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya: apakah sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. [HR Bukhori dan Muslim]
Ambil saja kesimpulan bahwa umat Islam yang lebur dalam industri politik, sangat ikhlas dan yakin karena niat untuk berbuat banyak buat bangsa, negara dan masyarakat. Masalahnya apakah dalam praktek siyasah (politik) sesuai tuntunan Rasulllah. Apakah kita sudah memahami rukun politik Islam. Apakah kita sudah merenungi makna adab berkoalisi antar parpol. Apakah kita sudah mengikhlaskan diri jika kalah dalam pertarungan politik.
Pemilu pertama Reformasi, 1999, diiukuti 48 partai politik (parpol) dari 141 parpol yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagai awal Indonesia baru belajar berpolitik. Periode 1999-2004, Indonesia mempunyai dua presiden, membuktikan betapa rapuh pilar politik bangsa dan negara. Dua parpol Islam, PAN dan PKB, berseteru sampai berlanjut. Koalisi parpol Islam berangkat dari kepentingan merebut kursi yang sama, maupun membagi kursi kekuasaan, jelas tak akan bisa diwujudkan.
Ritual Politik
Ritual politik pemilu/pilpres menentukan perjalanan dan masa depan bangsa dan negara. Industri politik menjadikan biaya politik sulit diukur, susah diprediksi, menjadi bumerang bagi parpol minimalis. Menjadi angin segar bagi pemodal. Pesaing SBY maupun muka lama, menjadikan 2014 sebagai ajang pembuktian diri sekaligus laga balas dendam.
Tanpa malu banyak muka baru yang siap dilamar atau mengajukan dirinya sendiri jadi capres. Pesohor yang namanya disodorkan jadi capres oleh parpol peserta pemilu 2014, khayalannya mengembara kian kemari.
Kita semakin miskin negarawan. Beredar terjemahan bebas : Politisi, adalah buruh/pekerja yang mencari makan di industri politik. Mulai dari bonek sampai ketua umum parpol. Mereka bermodal mulut, berani malu. Hobi suka muncul di media massa. Ada yang betah jadi ketua umum, parpol didaulat secara mufakat menjadi usaha keluarga. Mereka berjuang untuk memakmurkan bangsa dan negara, dimulai dari diri sendiri. Politikus, adalah pejuang bangsa dan negara, tanpa pamrih, tanpa kendaraan parpol, tanpa ambisi politik, bebas syahwat politik. Mereka jarang bahkan tak mau tampil di media massa, apalagi pada acara ucap dan cuap di TVswasta. Bahkan mereka tak dikenal masyarakat. Bukti nyata ada, tanpa janji, tanpa kampanye.
Kendati Indonesia berpengalaman mempunyai presiden seumur hidup, Bung Karno, serta atas kehendak rakyat Pak Harto berhasil memperpanjang masa jabatan melalui 6 kali pemilu, namun begitu SBY dua periode jadi RI-1, kehidupan politik seolah baru belajar berdemokrasi.
Intinya, sebagai bangsa Melayu berperasaan halus, banyak pihak merasa bisa jadi pemimpin mengurus negara, merasa layak berdiri di barisan terdepan mengatur pemerintah, merasa mampu menetapkan kebijakan yang menyangkut hajat rakyat, merasa pantas di posisi teratas, merasa paling berhak meneruskan dinasti kepresidenan.
Akhirnya, rotasi, promosi dan mutasi politik lima tahun sekali, terjadi sebagai perwujudan gengsi politik daripada martabat politik. Kawanan politik yang sedang praktek di panggung politik atau yang sudah mantan, banyak yang terjerat pasal dosa politik. Tak kurang yang sempat mereguk nikmatnya pahala politik di dunia. [Herwin Nur/Wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar