dilema demokrasi bebas
ongkir, mata kursian vs mata kursian
Terjadi dimana, kapan,
siapa saja petugas partai yang terdampak. Abaikan. Bukan rekayasa tak perlu pakai
fakta sejarah. Ada nama mirip nama pelakon di panggung politik nusantara. Pasal
terungkap tanpa peradilan bak puncak gunung sampah. Timbunan sampah politik tak
habis.
Onggokan sampah politik nasional
hanya produk utama kawanan pemerintah pusat. Otonomi, otoritas daerah pun punya
hak sesuai nilai jual, PAD, potensi putra-putri asli daerah, geo(;ogi)politik
maupun sentimen pasar lokal. Lupa tahun dan lupa taruh simpan judul “demokrasi
perwakilan vs demokrasi tanpa perantara”.
Jika bisa langsung dapat
kursi pusat, mengapa pula harus merintis dari daerah. Bangun negara dari desa. Meraih
kursi kepala desa bukan tujuan, tetapi ujian dasar, praktik lapangan. Pertimbangan
dan perhitungan sumber informasi di museum, perpustakaan agar tak mengulang ‘dosa
politik’ yang sama.
Sistem pertahanan-keamanan
seolah-olah membayangi nyali politisi sipil. Alat negara di tangan bukan tangan
dingin, pada gilirannya akan menjadi beban tak berkesudahan. Episode “buaya vs
cicak” sekedar selingan ringan, hukum pun tajam untuk tebang pilih. Tumpul bin
mandul saat “siap tegakkan hukum !”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar