tobat politik nasional,
tolong dibabat lawan politik
Pengakuan dosa politik antar orde, antar periode presiden. Terbukti tujuh
turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan penyimpangan, tujuh lapis pasal pendosa
bahkan sampai presiden ketujuh, tak membuat jera, kapok, insaf, tahu diri,
sadar jiwa. Sebaliknya, kian bangga, kian tepuk jidat tanda pemikir dan atau pemakar
secara konstitusional.
Otonomi daerah, otoritas daerah adu cepat membuat tumpukan sampah politik
klas lokal bau global. Kinerja politik sejalan dengan perkembangan jumlah
partai politik sekali pemilu, habis pakai. Laik laga lokal hanya semusim. Bisa didaur
ulang antara sesama berhaluan ideologi terbuka.
Perpanjangan tangan, bentuk nyata konspirasi, skenario, koalisi politik
tanpa batas moral. Politik kriminal sisi lain sistem stigma radikal lawan
politik. Cita hukum nasional diformat formal sigap melayani pihak pengamal
dasar negara. Kontrak politik komplit termasuk “cuci piring”.
Fakta besar di bawah bayang-bayang orangtua, di balik nama luhur leluhur
atau dibesarkan di lingkungan penguasa formal. Akhirnya anak keturunan ambil
sikap sederhana, yaitu merasa sebagai pelanjut, penerus, pelestari kursi
kekuasaan. Merasa pewaris kursi notonegoro.
Politik trinoto, gembala penyesat vs gembala penghasut. Sekedar ala kadar
kata ‘trinoto’. Bisa disangkutpautkan dengan ‘notonegoro’. Masih ada dua ‘noto’
yang bebas. Moronoto sampai saminoto. Tiap daerah punya khazanah per-noto-an.
Ditulis ‘noto’ atau ‘nata’, terserah kebijakan bahasa lokal.
Adagium politik nusantara “doyan kursine ora doyan
dosane”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar