Halaman

Jumat, 03 Juli 2020

tobat politik nasional, tolong dibabat lawan politik


tobat politik nasional, tolong dibabat lawan politik

Pengakuan dosa politik antar orde, antar periode presiden. Terbukti tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan penyimpangan, tujuh lapis pasal pendosa bahkan sampai presiden ketujuh, tak membuat jera, kapok, insaf, tahu diri, sadar jiwa. Sebaliknya, kian bangga, kian tepuk jidat tanda pemikir dan atau pemakar secara konstitusional.

Otonomi daerah, otoritas daerah adu cepat membuat tumpukan sampah politik klas lokal bau global. Kinerja politik sejalan dengan perkembangan jumlah partai politik sekali pemilu, habis pakai. Laik laga lokal hanya semusim. Bisa didaur ulang antara sesama berhaluan ideologi terbuka.

Perpanjangan tangan, bentuk nyata konspirasi, skenario, koalisi politik tanpa batas moral. Politik kriminal sisi lain sistem stigma radikal lawan politik. Cita hukum nasional diformat formal sigap melayani pihak pengamal dasar negara. Kontrak politik komplit termasuk “cuci piring”.

Fakta besar di bawah bayang-bayang orangtua, di balik nama luhur leluhur atau dibesarkan di lingkungan penguasa formal. Akhirnya anak keturunan ambil sikap sederhana, yaitu merasa sebagai pelanjut, penerus, pelestari kursi kekuasaan. Merasa pewaris kursi notonegoro.

Politik trinoto, gembala penyesat vs gembala penghasut. Sekedar ala kadar kata ‘trinoto’. Bisa disangkutpautkan dengan ‘notonegoro’. Masih ada dua ‘noto’ yang bebas. Moronoto sampai saminoto. Tiap daerah punya khazanah per-noto-an. Ditulis ‘noto’ atau ‘nata’, terserah kebijakan bahasa lokal.

Adagium politik nusantara “doyan kursine ora doyan dosane”. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar