Halaman

Senin, 20 Juli 2020

mikul dhuwur, dudu mikul kursi unyar-unyur


mikul dhuwur, dudu mikul kursi unyar-unyur

Antara lema ‘mikul’ dengan kata ‘nggendong’ di tanah Jawa, terjadilah kodrati gender. Perlu cerdas individu mencerna kehidupan secara proporsional. Beban kehidupan sesuai orangnya, sesuai takaran-Nya. Cita-cita membutuhkan tak sekedar pengkorbanan jiwa raga. Tak perlu mulai dari nol.

Bayang-bayang orang tua menjadi patokan, stimulus dan penyemangat. Beban ganda selaku anak dan sekaligus selaku orang tua. Mengandalkan nama luhur leluhur, kalau tak diimbangi potensi diri, bisa-bisa malah menggerogoti warisan. Efek samping terjadi konflik antar anak kandung. Contoh hebat ada sistem trah raja, sultan, kaisar dan sejenisnya.

Pemangku kepentingan, pengampu kepentingan seolah menjadi jalan tengah, mediasi antar siapa yang merasa paling berhak. Soal tanggung jawab renteng, tanggung gugat kembalikan ke uraian jabatan ‘kontraktor politik’. Efektivitas negara tergantung kinerja kawanan parpolis, oknum politisi sipil, loyalis penguasa yang sedang magang dan manggung.

Manusia politik nusantara yang tidak terikat pada waktu. Konon, dinyatakan ternyata punya ambisi sangat sederhana, simpel. Terbatas pada rangkaian tindakan dan keinginan. Manusia macam ini hanya percaya kepada masa lalu yang terasa tak pernah berlalu, sekaligus abai nan lalai  terhadap nasib masa depan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar