mikul dhuwur, dudu mikul kursi unyar-unyur
Antara lema ‘mikul’ dengan kata ‘nggendong’ di tanah Jawa, terjadilah
kodrati gender. Perlu cerdas individu mencerna kehidupan secara proporsional. Beban
kehidupan sesuai orangnya, sesuai takaran-Nya. Cita-cita membutuhkan tak
sekedar pengkorbanan jiwa raga. Tak perlu mulai dari nol.
Bayang-bayang orang tua menjadi patokan, stimulus dan penyemangat. Beban ganda
selaku anak dan sekaligus selaku orang tua. Mengandalkan nama luhur leluhur,
kalau tak diimbangi potensi diri, bisa-bisa malah menggerogoti warisan. Efek samping
terjadi konflik antar anak kandung. Contoh hebat ada sistem trah raja, sultan,
kaisar dan sejenisnya.
Pemangku kepentingan, pengampu kepentingan seolah menjadi jalan tengah,
mediasi antar siapa yang merasa paling berhak. Soal tanggung jawab renteng,
tanggung gugat kembalikan ke uraian jabatan ‘kontraktor politik’. Efektivitas negara
tergantung kinerja kawanan parpolis, oknum politisi sipil, loyalis penguasa yang
sedang magang dan manggung.
Manusia politik nusantara yang tidak terikat pada waktu. Konon, dinyatakan ternyata
punya ambisi sangat sederhana, simpel. Terbatas pada rangkaian tindakan dan keinginan.
Manusia macam ini hanya percaya kepada masa lalu yang terasa tak pernah
berlalu, sekaligus abai nan lalai terhadap
nasib masa depan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar