pilkada 2020, revolusi
atau kursi
Singkat kata. Tanpa
bermaksud menyingkat olahkata. Sadar politik anak bangsa sudah berjilid.
Kehendak sejarah bahwasanya adab bernegara sudah masuk stadium tak beradab.
Makanya, negara asing merasa takjub dengan pesona politik Nusantara.
Demikian judulnya “asu mbalèni piringé vs panguwasa
mbélani kursiné”. Diadop dari kisah
nyata, bahwasanya barangsiapa mau main politik. Jangan setengah-setengah. Yang
jelas-jelas. Apa maunya vs maunya apa. Jangan malu, ragu, sungkan ataupun
bertenggang rasa. Plus harus aksi pandai-pandai. Wajib serba mégatéga, anéka
mégatéga.
Lain halnya jika sudah
berlabel sebagai manusia politik. Ikhwal kesetiakawanan sosial, terpinggirkan
secara yakin dan menerus. Membentuk kubangan bara dendam politik. Pelakunya
bukan saja yang gagal raih suara. Bahkan dimiliki oleh mantan wapres, malah
bekas presiden. Politik mampu menjadikan manusia menjadi setengah manusia.
Sederhana dan tanpa prosedur birokratif. Manusia bebal unggul politik.
Rakyat potensi bangsa,
bukan modal raih kursi. Secara nasional, Pemerintah Indonesia (2013) sudah,
telah melakukan aktivitas pemantauan dan pemetaan konflik secara rutin di semua
provinsi lewat program yang dinamakan Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan
(SNPK). Program ini dihadirkan bekerjasama dengan World Bank, dengan tujuan
untuk memantau tingkat konflik dan kekerasan yang terjadi di semua wilayah,
sehingga dari hasil pemantauan itu, Pemerintah dapat mengambil kebijakan
preventif untuk meminimalisir, mengantisipasi dan mengelola potensi konflik
tersebut di masyarakat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar