pilkada 2020 plus uji
unggul demokrasi lokal
Sebutan putra-putri
aseli daerah bukan sekedar semangat primordial dan konvensional. Semangat
kedaearah sesuai protokol otonomi dan otoritas daerah. Masuk rimba belantara
politik, menjadi paham bela dan beli produk lokal.
Kemandiran, kedaulatan,
ketahanan demokrasi nusantara dimulai dari sumber sila-sila Pancasila. Asas
lokalitas, domestik, domisili pada pemilihan kepala desa memudahkan integrasi
sosial. Keterbukaan atau proses naturalisasi pada kaum pendatang berdampak bagi
pemekaran wilayah administrasi.
Faktor popularitas,
elektabilitas, akseptabelitas kawanan politisi non-lokal pada pilkada mampu
mengingkari demokrasi lokal. Rekomenasi, restu politik dari oknum ketua umum
sebuah partai politik kian menambah aroma irama politik. Bentuk lain dari
peretak persatuan Indonesia dimulai dari bawah, pinggiran.
Daerah basah karena
secara historis memiliki lokasi strategis, sumber daya alam sampai fanatisme
pemilih tradisional. Asumsi kantong suara yang luwes, dinamis dan mudah
beradaptasi dengan rayuan politik pihak tak pakai tanggung jawab.
Merasa bisa, dibawa
perasaan mati rasa, seolah hak prerogatif di tangan kiri. Besar otoritas
politik ketimbang demokrasi. Demokrasi dicerna sebagai program, prosedur, proses.
Pendekatan lintas daerah demi pemerataan kuasa kursi notonegoro. Pergeseran
biaya politik pada pasca coblosan.
Padahal trah politik
daerah tak kurang garang dan pilih tanding. Indeks persepsi korupsi, indeks
demokrasi, indeks pembangunan manusia memang gambaran nyata, utuh praktik
bagi-bagi kursi. Gelombang arus turun gunung vs cari panggung, menjadi catatan
miring tapi ringan. Pilkada jelang pilpres 2024, bak tempat penampungan
terakhir sampah politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar