dilema dedikasi manusia politik nusantara, belum tentu vs
tentu belum
Manusia politik diharapkan mendedikasikan dirinya
dengan pelbagai amal usaha amalan politik. Atau sertifikasi ‘ilmu politik’ di
tangan, dipraktikkan secara nyata, menerus untuk kebutuhan masyarakat,
keperluan bangsa dan kepentingan serta masa depan negara. Jangan dibolak-balik.
Dedikasi alias pembaktian tercukupi dengan masa
bakti satu periode. Dengan catatan ringan, sampai tujuan dengan selamat,
keluarga telah menanti. Bebas ancaman-tantangan-hambatan-gangguan selama
perjalanan pengabdian. Kebal hukum atau wujudan manusia bebal.
Padahal, prinsip pengabdian manusia politik
bukannya menghidupkan gairah politik nusantara. Malah sebaliknya mencari
penghidupan dari partai politik. Wajar, terlebih hakikat peng-abdi-an jika
sudah dibaiat sukses menjalankan kebijakan oknum ketua umum partai. Teruji loyalitas
alias terbukti dedikasi politiknya.
Mendapat stigma petugas partai, ora opo-opo. Yang penting pantat
dapat kursi. Soal kepala mau ditaruh, diposisikan di mana, serahkan kepada
waktu dan sejarah. Rumusan mental berpengabdian untuk bangsa dan negara,
berlaku untuk khalayak semua umur. Tak melihat warna politik, apalagi beda
pilihan.
Edukasi politik bak obat susut perut plus mengencerkan otak kanan maupiun otak kiri manusia. Manusia politik dengan kandungan wujudan cakap, ahli, mahir diabdikan bagi kehidupan. Timbal balik, keringat mereka dibayar setara dengan barter kursi, kehormatan maupun alat tukar bernama uang.
Namun kiranya, biaya politik menentukan imajinasi, ambisi dan “dedikasi”. [HaéN]
Edukasi politik bak obat susut perut plus mengencerkan otak kanan maupiun otak kiri manusia. Manusia politik dengan kandungan wujudan cakap, ahli, mahir diabdikan bagi kehidupan. Timbal balik, keringat mereka dibayar setara dengan barter kursi, kehormatan maupun alat tukar bernama uang.
Namun kiranya, biaya politik menentukan imajinasi, ambisi dan “dedikasi”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar