Halaman

Sabtu, 25 Juli 2020

dilema dedikasi manusia politik nusantara, belum tentu vs tentu belum


dilema dedikasi manusia politik nusantara, belum tentu vs tentu belum

Manusia politik diharapkan mendedikasikan dirinya dengan pelbagai amal usaha amalan politik. Atau sertifikasi ‘ilmu politik’ di tangan, dipraktikkan secara nyata, menerus untuk kebutuhan masyarakat, keperluan bangsa dan kepentingan serta masa depan negara. Jangan dibolak-balik.

Dedikasi alias pembaktian tercukupi dengan masa bakti satu periode. Dengan catatan ringan, sampai tujuan dengan selamat, keluarga telah menanti. Bebas ancaman-tantangan-hambatan-gangguan selama perjalanan pengabdian. Kebal hukum atau wujudan manusia bebal.

Padahal, prinsip pengabdian manusia politik bukannya menghidupkan gairah politik nusantara. Malah sebaliknya mencari penghidupan dari partai politik. Wajar, terlebih hakikat peng-abdi-an jika sudah dibaiat sukses menjalankan kebijakan oknum ketua umum partai. Teruji loyalitas alias terbukti dedikasi politiknya.

Mendapat stigma petugas partai, ora opo-opo. Yang penting pantat dapat kursi. Soal kepala mau ditaruh, diposisikan di mana, serahkan kepada waktu dan sejarah. Rumusan mental berpengabdian untuk bangsa dan negara, berlaku untuk khalayak semua umur. Tak melihat warna politik, apalagi beda pilihan. 

Edukasi politik bak obat susut perut plus mengencerkan otak kanan maupiun otak kiri manusia. Manusia politik dengan kandungan wujudan cakap, ahli, mahir diabdikan bagi kehidupan. Timbal balik, keringat mereka dibayar setara dengan barter kursi, kehormatan maupun alat tukar bernama uang. 

Namun kiranya, biaya politik menentukan imajinasi, ambisi dan “dedikasi”. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar