Halaman

Jumat, 17 Juli 2020

penampungan utama limpahan limbahan negara padat penduduk


penampungan utama limpahan limbahan negara padat penduduk

NKRI diperhitungan eksistensinya di tataran dan tatanan dunia karena posisi nomor empat jumlah penduduk. Semangkin menjadi obyek perhitungan karena disparitas kepadatan penduduk per provinsi maupun per pulau. Pemerima pasif efek domino globalisasi, transnasional, hégemoni secara berkelanjutan.

Masalah dan PR besar bangsa adalah generasi bau kencur sudah sebegitunya paham politik. Tanpa pikir panjang pola ketertarikan maupun sebaliknya mewujud jadi karakter khas. Pendekatan karena tangan akrab dengan produk TIK. Bukan karena faktor ajar maupun jangkauan pendidikan politik. Kemampuan dasar ‘calistung’ masih bebas liar tanpa kendali moral.

Beda pasal, lain perkara dengan kasus yang digeluti generasi bau tanah. Ironis binti miris, mereka kian sayup-sayup redup dari jangkauan bahasa standar. Sulit menemukan sisa-sisa jati diri. Namun kemampuan ekspresi diri tentu bukan sekedar pengejawantahan nilai-nilai pribadi. Pribadi mana atau macam apa yang akan berkembang. Serahkan kepada protokol.

Pemerolehan kosakata, vokabuler yang tidak baku, yang tidak standar, tapi enak, pas, cocok sesuai kadar nalar mereka. Olok-olok politik meringkat menjadi pabrik pembunuh karakter yang dipelihara oleh negara. Akal sehat mereka sengaja dibelenggukan lewat mengidolakan tokoh pujaan tanpa akal sehat.

Watak dasar manusia politik cenderung menghindari konflik frontal horizontal – apalagi dengan debat argumentatif substantif dan tatap muka – dengan memicu dan memacu konflik hantam kromo, kolosal.

Watak dasar lanjutan tadi menjadikan manusia politik lebih pilih aman nyaman lari ke dalam dirinya sendiri, alias “merajuk”. Larut dalam emosi merajuk sambil sibuk mencari dalil pembenaran diri. Bukan bertanya aku ini siapa dan bisa apa. Lebih ke dimensi “orang belum tahu aku ini anak siapa”. Berani-beraninya melawan aku.

Balutan emosi labil diimbagi imajinasi kompensasi. Dikonversikan menjadi imajinasi politik bebas liar. Klimaksnya, secara sadar masuk strata pengabaian tata moral lingkungan. Agama atau keyakinan religi bisa dikesampungkan dengan seksama. Akhirnya mereka menemukan identitas diri, jati diri anyar tanpa nilai kemanusiaan.

Pakai perilaku hewani yaitu amuk massa, aksi kolosal. Libas lawan politik sejak dini. Masa depan bangsa jadi agunan kepemilikan asal cita-cita politik terwujud. Kata bijak “orang kaya, kuat bertabur kursi, orang mulia bertabur budi”.

Peribahasa "lubuk akal tepian budi’ mengungkapkan korelasi, interaksi antara akal dengan budi. Bahwa orang yang mendayagunakan akalnya karena terbiasa berbudi baik atau budi yang baik muncul dari pemanfaatan akal yang baik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar