Halaman

Jumat, 17 Juli 2020

laga perlintasan sebidang politik dengan agama


laga perlintasan sebidang politik dengan agama

Apa saja, kejadian apa saja bisa terjadi secara zalim maupun lazim di bumi Pancasila. Orang gila sesaat maupun menerus, manusia setengah waras, kurang lurus, agak miring berkeliaran bebas di jalanan, bertindak bebas di tempat umum. Bebas sanksi agama maupun hukum nasional. Kendati bersama penyandang penyakit masyarakat menjadi “obyek dipelihara oleh negara”.

Terjadi hukum keseimbangan, pasal kesetaraan pada penguasa. Modus penggampangan tapi tidak menyederhanakan. Bagaimana hubungan diplomatik relasi antara politik dengan agama.  Titik temu, bidang gesek terukur di lembaga trias politika, legislatif-eksekutif-yudikatif. Khususnya mereka selaku kontraktor politik, pen-duduk jabatan politis akibat pesta demokrasi.

Tidak perlu mengacu, menoleh ke negara lain, apalagi status sudah lebih laju. Ada elok nian simak ulang judul “modus politik dunia wayang, alergi spiritual vs abaikan spiritual”. Jangan pakai pola BST (banding, sanding, tanding).

Selaku satu-satuanya negara pengguna aktif Pancasila. semangkin ditarik garis merah total daripada perilaku partai politik maupun organisasi kemasyarakatan. Sudah suratan sejarah. Wujud nusantara ditentukan niat, rencana, cita-cita persiapan merdeka. Rezim Orde Lama maupun rezim Orde Baru yang melahirkan generasi sisa dari uraian alinea pertama.

Satu oknum penggila jabatan warisan notonegoro bak nila sebelanga. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar