malu bertanya disesatkan
gembala tersesat
Awal Orde Lama, lagu “gembala
sapi” liwat RRI Studio Nusantara 2 Yogyakarta, tenar tanpa saingan. Bukan karena
penyanyinya perempuan, Norma Sanger. Ada juga saat itu lagu yang ngetop,
ngehit. Sapi yang lewat jalanan di Yogyakarta menarik gerobak. Sarat batangan
bambu. Roda ban hidup atau roda jari-jari kayu kapisan luar cincin besi.
Kelontong sapi dan
teletong berceceran di jalan. Berangkat masih gelap tanah, pakai lampu ting. Kelontong
tergantung di leher sapi, selaku klakson. Rute rutin membuat sang sapi hafal. Sampai
tujuan, misal pasar Beringhardjo, pilot masih lelap. Tanpa aba-aba sapi putar
haluan, langsung balik kandang. Tipe lain, gerobag “Irian Barat” karena tedeng
samping bergambar pulau Papua sekarang.
Angon bebek masih bisa
disaksikan, di desa bagian utara. Atau daerah yang masih bersawah. Balapan jaran
di gumuk, Sendowo, Yogyakarta. Burung gagak bebas di udara. Ditambah burung
emprit, gelatik. Tak terkecuali burung yang suaranya khas, melengking. Berbunyi
sambil terbang. Pratanda berita dukacita.
Beda peradaban masih
terjadi tukang gembala. Jelasnya, kawanan kolaborator akibat perjanjian,
persekutuan dengan setan. Bebas pikir, tindak, ucap berkoalisi dengan aliran
percaya atheisme. Semakin formal konstitusional beratribut partai politik. Modus,
menu jam-jaman adalah dilema politik balik adab, ujaran kebencian vs ajaran
kebancian. Lewat biro jasa penebar, penabur berita fasik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar