menjaga perasaan penyapa
jalanan
Sebut jalan lingkungan sesuai kategori jalan (arteri, kolektor, lokal)
peruntukkan kawasan hunian. Bias dengan sebutan kawasan perumahan dan
perumahan. Pokoknya untuk tempat tinggal. Perumahan versi KPR-BTN tetap eksis karena ada
gang senggol selaku jalan tembus ke hunian asli.
Bak sampah rumah tangga, diutamakan buangan hasil dapur. Bersih lingkungan
pakai pasal lain. Nyatanya, bak sampah menjadi daya tarik kucing, tikus,
anjing. Beda dengan film kartun asing. Beda pada muatan lokal sampah.
Melangkahkan kaki subuhan ke masjid.
Pandai-pandai menapak. Tiap ruas jalan, samping blok, antar poldur
dihiasai tahi kucing, beol anjing, bangkai tikus. Sampah dalam kantong plastik
menjadi obyek resmi pemulung. Lengkap sudah “hiasan” jalan.
Di luar jadwal lima waktu. Lebih cerdas diri pilih jalur berlawanan arah. Agar
pola jalan cepat sesuai aturan nafas tak terganggu. Kuping siaga menghadapai
pertanyaan standar lokal “mau kemana?”. Dijawab secara formal, sopan malah
menunjukkan diri lebih bodoh ketimbang penyapa.
Penyesuaian diri hadapi agresi covid-19 wuhan. Ikuti protokol kesehatan
pakai masker, jaga jarak horizontal. Ternyata tak mampu menghindarkan diri dari
sapaan yang tak diharap. Basa-basi juga bukan. Cuma sesama warga. Kalau sudah
kenal pakai salam, sapa, senyum. Praktis.
Rangkaian kebijakan top-down. Ke masjid bawa sajadah pribadi. Itu pun
tak mengurangi minat, peduli orang lain untuk bertanya “dari mana?” dan atau “mau
kemana?”. Cukup unjuk sajadah sebagai jawaban. Jangan sampai terbawa irama
aroma manusia bebal yang bisa-bisa BAB di jalanan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar