anomali
kenduri politik nusantara, setor muka vs berkat kursi
Karena, sebab, berkat
kata orang mudah berkata-kata. Tingkat kesulitan utama cukup mendasar yaitu tata
cara merangkaian kata-kata menjadi kalimat bermakna. Mengandung suatu
pengertian maksud yang dapat diterima semua akal sehat. Azupan gizi, nutrisi
anak bangsa yang tak sesuai dengan sistem pencernaan. Membuat mereka mampu
memproduk kata-kata tanpa proses akal sehat. Apalagi lewat sensor hati nurani,
qolbu.
Peradilan atau sistem
perhukuman nasional, barangsiapa cakap berkata-kata, ahli silat lidah tak
bertulang tapi bercabang, mahir dialog-diskusi-debat bahkan lihai
memutarbalikkan fakta. Pasal hukum terasa ketinggalan zaman plus kehabisan kata
dan kalimat. Selain luwes, ternyata pasal hukum bisa apa saja dan sigap terima
tawaran alias nego politik.
Makanya, sebelum acara
dimulai, sudah sigap duduk manis. Ambil lokasi, posisi strategis. Dekat tuan
rumah atau jaga jarak. Tampilan dibuat bak bukti kehadiran. Pendatang kemudian
akan langsung tahu akan kepedulianya terhadap acara. Menghormati yang punya
kerja. Jangan datang pas hidangan diedarkan.
Atau datang membuat
gerombolan kawanan sendiri, sesama ahli
hisab, senasib bareng tukang celoteh, pengoceh. Teras rumah atau bawah tenda di
jalan, menjadi favorit, ruang public. Bebas cuap, ucap asal berani malu. Abaikan
tema, topik. Makin banyak nerocos akan dipandang mampu. Otomatis aklamasi akan
ditunjuk selaku pemimpin kegiatan lingkungan.
Khalayak terbagi. Di dalam
yang memang niat doa bareng. Sisanya, forum tanpa bentuk. Mulut paling sibuk
membereskan jajanan pasar. Akhir kata, doa politik cukup membuat tuan rumah
puas. Makin girang melihat animo pemilih sampai membludak di jalanan. Mereka termasuk
koalisi uber berkat. Bukan berkah silaturahmi kewargaan.
Makanya, jika masih
banyak atau ada kata-kata yang belum sempat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar