format ulang adab
berpolitik nusantara
Pertangaan awal, awam sarat tanda tanya. Apa memang ada adab berpolitik. Pranata
sosial secara tak langsung merupakan adab bertetangga. Adat rukun, guyub
menjadi tetenger, simbol rukun tetangga, rukun warga, rukun kampung. Teritorial
tempat tinggal dibilang seumur-umur bahkan ada yang beranak cucu. Saling
berbesan, menjadi ajang interaksi sosial dan keluarga.
Dinamika kehidupan bermasyarakat di jalanan saja bisa mewujudkan konflik
horizontal. Apalagi yang tiap hari bersua. Tetangga hanya kebagian aroma irama
kinerja dapur, apalagi menu khusu, sudah dinormakan. Kilmaks antar anak kecil
terjadi gesekan, acara bubar tanpa butir-butir kesepakatan. Tanpa komando kumpul-kumpul,
anak-anak bermunculan lanjut acara baru. Lupa sengketa lama.
Oleh karena itu sudah menjadi suratan sejarah. Bahwasanya sila-sila
daripada dasar negara digali dari pangkuan ibu Pertiwi. Bahan baku lokal
masyarakat kebanyakan dengan sebutan rakyat. Fakta mendasar ini pun juga
menjadi inspirasi perwujudan politik berbasis kesenjangan sosial.
Paham animisme-dinamisme atau adanya tuah politik. Sejarah malah menjadi
saksi betapa kehidupan bernegara adalah turunan dari kesetaraan antar negara. Negara
adidaya sampai skala zionis menentukan peta politik dunia. Negara kaya penduduk
sedunia diuntungkan pasca perang dingin. Juga tidak, nusantara sudah
terkontaminasi jauh tahun sebelum merdeka.
Cerdas politik penguasa negara berkembang selapis demi selapis. Tahu diri jaga
ambang bawah status rakyat miskin. Selaku syarat utama ajukan ULN plus lahan
subur atheis global. Bangga dengan kemiskinan menjadi daya tarik investasi
dunia. Sebaliknya, secuwil surga menjadi destinasi prioritas wisman. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar