dilema politik balik adab, ujaran kebencian vs ajaran
kebancian
Puncak prestasi politisi sipil bangsa pribumi rumpun nusantara turunan,
cukup santun dan laik santunan. Tetap berbasis, mengacu, fungsi kursi legal
konstitusional. Menapak dari mana tanah dipijak atau langsung nangkring,
nongkrong di supremasi kursi. Tak jadi masalah, memang bukan masalah.
Percepatan karier identik terjun bebas gaya bebas. Sesuai kurva protokol tata
moral.
Spesifikasi negara berkembangan, negara multipartai, negara kepulauan
membuat kepulan asap karhutla kian merata plus melambung, membubung ke angkasa.
Selaku sinyal bahwa bangun negara sedang asyik-asyiknya. Sistem politik mampu
menyerap ideologi global dan lintas negara.
Pembagian peran sesuai jumlah kursi di parlemen. Bukan pakai sistem
kelipatan. Juga tidak tergantung raihan suara pada pesta demokrasi daripada
Suharto. Kebijakan bagi hasil sesuai biaya politik. Donator paling istimewa
otomatis punya jatah istimewa. Tidak kenal subsidi silang. Sesama konco dewe, berlaku hukum ekonomi.
Falsafah, filosofi, filasafat yang mendasari globalisasi maupun lintas
negara tanpa batas, adalah asimilasionisme. Konsep dasar ini melegalkan yang
kuat akan mendominasi yang lemah. Pas dengan bunyi tak terulis hukum rimba belantara politik nusantara.
Pertama tapi bukan utama. Memancing kursi lebih besar, lebih kuat, lebih
tinggi dengan umpan kursi kecil. Dukungan zat kimia dosis transnasional mempercepat
proses, memperpendek jarak dan waktu.
Kedua belum tentu kelanjutan pertama. Meraih kursi satu-satunya, dengan
tumpukan kursi. Dimungkinkan bantuan kursi mancanegara agar tampak berklas
dunia. Mengorbankan kursi yang sedang dinikmati demi nikmat yang lebih
menjanjikan.
Lanjut di episode selanjutnya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar