mewujud kompromi,
solidaritas, toleransi mandiri sepihak
Amannya, angkat dan
berangkat dari hasil cerdas politik politisi sipil. Tepatnya pakai hasil
Perubahan Kedua UUD NRI 1945, tersurat pada:
Pasal 28E
(3)
Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Ruang publik, mimbar
bebas bahkan media massa bebas ujaran. Berkat aruh budaya bangsa yang sudah
tidak berkembang. Akhirnya nusantara bak manusia sedang lelap kebanyakan
pantat. Pihak asing niat mewancarai langsung, bingung cari mana mulut, mana
cangkem. Aneka dengungan suara tak pakai pembuka. Tak jelas pihak mana yang disasar.
Adonan gerakan aksi
berserikat terasa heterogen dalam identitas, kepentingan maupun pasal terselubung.
Yang dibutuhkan adalah pihak berpotensi selaku pelantang suara. Didapat pada
pihak berciri endapan, sedimentasi rasa frustasi politik.
Konflik berserikat lebih
disebabkan oleh dinamika politik elektoral skala lokal. semacam pilkada yang apalagi serentak. Konflik
sistem lain akibat adanya persaingan antar elite serikat berebut kendali atas
basis akar rumput.
Ternyata panggung
sandiwara politik nusantara, penuh kisah, sarat intrik dan konflik. Tidak sekedar
kisah jasa kakek nenek moyangnya. Sekaligus juga melibatkan dendam, kebencian, agresi
dan intimidasi. Secara tak langsung menjabarkan ketumpulan hukum Negara. Bukti awal dimana moralitas
publik mulai memudar.
Kian sulit membedakan
mana “penumpang gelap” dengan mana “penumpang liar”. Mengaku diri pancasilais
sejak dalam kandungan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar