otak diasah dengan aksi
literasi, produk malah kian tumpul
Namanya bahasa tulis. Untuk
menghasilkan kalimat sederhana ternyata butuh proses yang tak sederhana. Rumusan
berbahasa secara beradab selaku cerminan potensi diri yang terpendam. Otodidak temukan
perbahasaan, peribahasa, ungkapan, pepatah, adagium serta semaksud lainnya. Kekuatan
plus data tarik menu dan sajian olah kata.
Paham bahasa agar diri
ini tak terlena dengan produk kalimat yang terasa memikat. Bukan jalan pintas
tapi jalan pantas memadukan bahasa dengan sastra. Karya tulis bentukan, wujudan
sisi lain dari karya sastra. Karangan bebas pun justru sarat syarat. Bukan menulis
celotehan, ocehan menjadi bahasa tulis. Bahasa gaul menambah kosakata,
vokabuler, leksikon.
Derajat khusus, penguasaan
kosakata bisa selaku indikator adab berbahasa di atas rata-rata. Kalimat yang
terbentuk merupakan sinergi dari aneka ragam bahasa disiplin ilmu. Menyusun bahasa
tulis pun butuh bukan sekedar ilmu. Utamakan praktik dengan membaca karya siapa
pun. Sumber inspirasi bisa dikorek dari timbunan sampah penebar dan penabur
berita sesat, fasik. Khususnya dari pihak ketiga lendati penganut agama langit tapi
mampu memodifikasi ajaran kitab sucinya.
Bukan pada banyaknya
pemirsa yang menjadi tolok ukur produk diminati. Pihak yang merasa diungkap,
disingkap fakta manipulasi perwatakannya. Merasa tersindir, tertunjuk, terpojok.
Komen, kritik jauh dari kandungan substansi, malah gunakan makian, bukti ada
hal baru di balik ketumpulan produk. Kita diam mematung, justru ada pihak yang
tersinggung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar