modus politik dunia wayang, alergi spiritual vs abaikan
spritual
Kejadian kisah berlatar belakang, berhalaman depan, kebon samping
Mahabarata maupun Ramayana tak akan lepas dari tokoh spiritual. Sama-sama
bertitel patih. Sama-sama trah paman, adik kandung ibu sang maharaja.
Peran dan ketokohan putera mahkota, beda pasal, lain perkara. Rahwana tak
ada kapoknya. Kebal aneka senjata andalan pemberian dewa atau hadiah negara
lain. Kebal serangan fajar ilmu hitam dari pihak manapun. Namun tak kebal rasa
sakit tertusuk duri atau ilmu tusuk jarum.
Putera mahkota betara Guru mampu menitis ke tokoh wayang golongan putih.
Juga tidak. Ada babakan wayang Tripama Kawedhar. Betara Guru tak mau kalah
pamor dengan anak-anaknya. Langsung punya keturunan dengan manusia bumi.
Jalannya prosesi perwayangan menjadi bias.
Tokoh pembisik pendita Durno bersaing dengan gaya hasutan, olok-olok
politik, ujaran kebencian patih Sengkuni. Akhirnya, petugas wayang tak butuh
asupan spiritual. Bisa langsung matak aji, kontak langsung dengan dewa maupun
dewi di khayangan. Bantuan langsung tanpa wujud, tanpa bentuk dari negara
asing. Sigap libas lawan atau pihak beda pilihan.
Aji-ajian, jimat, senjata andalan, pusaka, kesaktian kian manjur jika bebas
sentuhan spiritual moral kebangsaan. Namanya wayang. Menurut selera dalang
seberang lautan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar