Halaman

Rabu, 15 Juli 2020

modus politik dunia wayang, alergi spiritual vs abaikan spritual


modus politik dunia wayang, alergi spiritual vs abaikan spritual

Kejadian kisah berlatar belakang, berhalaman depan, kebon samping Mahabarata maupun Ramayana tak akan lepas dari tokoh spiritual. Sama-sama bertitel patih. Sama-sama trah paman, adik kandung ibu sang maharaja.

Peran dan ketokohan putera mahkota, beda pasal, lain perkara. Rahwana tak ada kapoknya. Kebal aneka senjata andalan pemberian dewa atau hadiah negara lain. Kebal serangan fajar ilmu hitam dari pihak manapun. Namun tak kebal rasa sakit tertusuk duri atau ilmu tusuk jarum.

Putera mahkota betara Guru mampu menitis ke tokoh wayang golongan putih. Juga tidak. Ada babakan wayang Tripama Kawedhar. Betara Guru tak mau kalah pamor dengan anak-anaknya. Langsung punya keturunan dengan manusia bumi. Jalannya prosesi perwayangan menjadi bias.

Tokoh pembisik pendita Durno bersaing dengan gaya hasutan, olok-olok politik, ujaran kebencian patih Sengkuni. Akhirnya, petugas wayang tak butuh asupan spiritual. Bisa langsung matak aji, kontak langsung dengan dewa maupun dewi di khayangan. Bantuan langsung tanpa wujud, tanpa bentuk dari negara asing. Sigap libas lawan atau pihak beda pilihan.

Aji-ajian, jimat, senjata andalan, pusaka, kesaktian kian manjur jika bebas sentuhan spiritual moral kebangsaan. Namanya wayang. Menurut selera dalang seberang lautan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar