Halaman

Sabtu, 18 Juli 2020

politik imitasi nusantara, berani pakai vs pakai berani


politik imitasi nusantara, berani pakai vs pakai berani

Bawang Merah dan Bawang Putih tak akan melegenda, menjadi legenda jika tak ada tokoh antagonis bersebut ‘ibu tiri’. Karya sastra sesuai lokalitas perangkatan kejadian perkara non-pidana mamupun non-perdata kemanusiaan. Tak akan meringkat nasional jika tak menyebut sosok tanpa batas gender setara ‘ibu tiri’. Umumnya memang berasal atau seputar tokoh politik yang kontribusi nyata tak beda jauh dengan karakter ‘ibu tiri’.

Kisah dunia lain berkisah tentang nasib cicak. Umat Islam mempunyai dalil atau sunah agar membunuh cicak. Mitos mistis wong Jawa yakin bahwasanya cicak penjelmaan makhluk halus, gaib. Lagi-lagi sesuai teritorial atau lokalitas. Lagu kanak-kanak “cicak-cicak di dinding” sampai sang anak menjadi ibu atau sudah punya anak, tetap berlanjut tanpa periode. Skala nasional nusantara, terdapat episode “buaya vs cicak”.  Rasanya seperti ada pemain ganda, merangkap peran ‘ibu tiri’.

Lagak lagu rakyat melankolis mendendangkan tema ‘ibu tiri’. Peringkat bak kambing hitam sampai masuk kawanan dipelihara oleh negara. Era rezim politik baju hijau Orde Baru terdapat organisasi sayap tak resmi Sekber Golkar bergelar “gabungan anak liar” atau ‘gali’. Di Yogyakarta.

Sinergi energi positif warisan luhur leluhur, berbasis fakta di atas. Pendidikan politik, faktor ajar trah darah (politik) merah bak lagu cicak. Ybs merasa sudah dapat banyak sehingga sampai bau tanah, tetap “diam-diam merayap”. Sadar diri dan yakin diri sengaja terbelit “penabur ujaran kebencian vs penabur ajaran kebancian”. Secara konstitusional bangga tak terhingga memposisikan diri selaku ‘ibu tiri’.  Sang Merah-Putih terbelah menjadi Sang Merah dan Sang Putih. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar