politik imitasi nusantara, berani pakai vs pakai berani
Bawang Merah dan Bawang Putih tak akan melegenda, menjadi legenda jika tak
ada tokoh antagonis bersebut ‘ibu tiri’. Karya sastra sesuai lokalitas
perangkatan kejadian perkara non-pidana mamupun non-perdata kemanusiaan. Tak akan
meringkat nasional jika tak menyebut sosok tanpa batas gender setara ‘ibu tiri’.
Umumnya memang berasal atau seputar tokoh politik yang kontribusi nyata tak
beda jauh dengan karakter ‘ibu tiri’.
Kisah dunia lain berkisah tentang nasib cicak. Umat Islam mempunyai dalil
atau sunah agar membunuh cicak. Mitos mistis wong Jawa yakin bahwasanya cicak
penjelmaan makhluk halus, gaib. Lagi-lagi sesuai teritorial atau lokalitas. Lagu
kanak-kanak “cicak-cicak di dinding” sampai sang anak menjadi ibu atau sudah
punya anak, tetap berlanjut tanpa periode. Skala nasional nusantara, terdapat
episode “buaya vs cicak”. Rasanya seperti
ada pemain ganda, merangkap peran ‘ibu tiri’.
Lagak lagu rakyat melankolis mendendangkan tema ‘ibu tiri’. Peringkat bak
kambing hitam sampai masuk kawanan dipelihara oleh negara. Era rezim politik
baju hijau Orde Baru terdapat organisasi sayap tak resmi Sekber Golkar bergelar
“gabungan anak liar” atau ‘gali’. Di Yogyakarta.
Sinergi energi positif warisan luhur leluhur, berbasis fakta di atas. Pendidikan
politik, faktor ajar trah darah (politik) merah bak lagu cicak. Ybs merasa
sudah dapat banyak sehingga sampai bau tanah, tetap “diam-diam merayap”. Sadar diri
dan yakin diri sengaja terbelit “penabur ujaran kebencian vs penabur ajaran
kebancian”. Secara konstitusional bangga tak terhingga memposisikan diri selaku
‘ibu tiri’. Sang Merah-Putih terbelah
menjadi Sang Merah dan Sang Putih. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar