berkecukupan pangan masih menjadi cita-cita bangsa
Secara simbolis, penduduk yang masuk kategori, kriteria, tolok ukur atau
bahkan cita-cita para pendiri bangsa: ‘adil, makmur, sejahtera’ versi BPS sudah
terdapat di setiap provinsi. Masalah persentase, tidak masalah. Bahkan ada yang
jauh di atas rata-rata nasional, penguasa boleh tepuk dada.
Soal ada penduduk atau keluarga pra-sejahtera lebih dikarenakan pola hidup,
gaya hidup, dan tuntutan zaman. Saking sejahteranya, daya belanja penduduk pada
kebutuhan dasar pangan, pemenuhan tuntutan isi perut melampaui ketersediaan, pasokan
beras petani dalam negeri.
Amal politik ditentukan besaran dana. Dihitung dari perolehan suara sah di
pemilu. Bagi penduduk karena usia, atau belum nikah dini, belum
punya hak pilih, akan dikenakan, diterapkan kewajiban lain. Tanda bakti negara,
bela negara, cinta tanah air. Total kopral sampai total jenderal, rakyat per
kepala dihitung akan menjadi pembayar, pelunas utang luar negeri. Tanggung renteng.
Dunia saja mengurus pangan. Apalagi negara gemar berkembang. Sandang,
pangan, papan menjadi tolok ukur sejahtera plus sehat suatu bangsa. Nusantara
tanpa gembar-gembor sudah membuktikan. Sesuai demokrasi perwakilan. Wujud nyata
sejahtera plus sehat sudah terwakili pada kelompok masyarakat tertentu. Pada lokasi terpastikan karena potensi lokasi dan
unggulan SDM.
Petani sejahtera sebagai indikator utama, indeks keberhasilan swadaya
pangan. Soal masih terjadi praktik impor pangan, itu masalah etika perdagangan
dunia. Posisi dan nilai tawar Indoesia selalu mudah ditawar sampai ambang
bawah. Nasib tani langganan obyek/subyek serikat pekerja tani, asosiasi tani,
ormas tani, kelompok sadar tani sampai kementan. Termasuk ada hari tani
nasional. Kurang apa lagi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar