pancasilais reformis, 3 in 1 vs tanpa ampas
Bukan hal istimewa, khusus, keterpilhan jika jabatan presiden ketiga,
keempat dan kelima RI tidak sampai satu periode atau lima tahun. Bukan yang
lain, tentu ada dampak psikologis jiwa politik, efek kejiwaan yang berlanjut
sampai kapanpun. Namanya politik, tak ada puasnya. Semakin berkuasa semakin
haus kuasa.
Ungakapan entah kapan diungkap maknawi, "meski ilmu setinggi
tegak tidak berbudi apa gunanya". Terasa lema ‘budi’ dimaknai lebih dari sekadar ilmu, akal, pikiran,
nalar, logika. Kondisi lanjut diposisikan selaku akhlak, keluhuran hati. Modal dasar, utama untuk melakoni
kehidupan. Kata ‘budi’ tampak dominan daripada
ilmu atau potensi orang mengolah pikiran.
Berpolitik bukan sekedar hobi, profesi atau bentukan lain kata hati. Disiplin
ilmu politik, kian dijabarkan bak mendegradasi, melemahkan jiwa kerakyatan. Eksplorasi,
eksploitasi jiwa politik bebas ideologi, mental “ibu tiri”. Kian jauh dari rakyat, berlakulah hukum angin
ribut. Angin buritan adu nyali dengan angin haluan.
Semua anak bangsa yakin dengan haluan vs buritan keyakinannya akan
kewajiban anak ke orangtua. Kirim doa dan menjaga silaturahmi. Ke bawah,
menyiapkan anak keturunan agar lebih laik laga. Sigap memiliki masa depannya,
bukan dari sistem pewarisan, pelimpahan kekuasaan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar