semangat
PROKLAMASI dan beban moral capres
Bung
Karno mengatakan tentang watak Suharto dalam ujaran bahasa Belanda ‘koppig’, kalau dalam bahasa Jawa
maksudnya ‘tambeng’. Justru dengan
watak tambeng-nya, Suharto malah bak
memakai kaca mata kuda, berakhir mampu menggeser, menggusur Sukarno dari kursi
presiden. Alih kepemimpinan nasional sebagai tragedi kudeta di balik kudeta.
Anak Bung
Karno selama zaman penguasa tunggal Orde Baru, Suharto, terpaksa tidak bisa
melanjutkan kuliahnya. Sebagai bapak, Bung Karno memberi semangat kepada anak
perempuannya :”kamu anak cerdas.”. Sang anak yang droup out dari bangku kuliah malah merasa tersanjung. Merasa
sebagai anak cerdas. Terbukti dalam periode 1999-2004 bisa menjadi wakil
presiden dan berlanjut naik jenjang menjadi presiden RI ketima.
Walau
pak Harto masih segar-segarnya memimpin Indonesia dengan Repelita-nya, namun
masih merasa kekurangan, khususnya dalam keluarganya. Pak Harto merasa tak ada unsur
wasis dalam trah anak keturunannya. Sejarah mengatakan, ada perempuan hebat di
balik pak Harto, yaitu isterinya. Srategi mempunyai menantu lelaki Prabowo Subianto,
yang trah bukan orang biasa sejak kakeknya, menjadi langkah taktis pak Harto.
Disinilah
letak ironis betapa IQ tidak berperan nyata dalam mendukung seseorang ikut
pilpres. Megawati binti Sukarno, yang merasa cerdas versus Prabowo Subianto yang
mempunyai gen wasis, cerdas dari dan sejak sono-nya,
bukan jaminan sebagai jaminan daya tarik kampanye. Mereka bukan gagal karena
kalah suara, tetapi lawan politiknya punya nilai jual yang tak bisa diukur
dengan nilai tukar politik.
Langkah,
tindak dan ucap SBY yang dianggap penuh keraguan, justru sebagai ciri milter
berbasis daya pikir, bukan orang lapangan. Gaya ketawa Jokowi, khas manusia
Jawa, sebagai orang terakhir yang akan tertawa. Memang, kita terjebak bahwa demokrasi
Nusantara sesuai rumus matematis, yang menang karena menang banyak. Tidak ada
kaitannya bahwa yang benar akhirnya akan menang. Merdeka!!! 17.08.2016. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar