Halaman

Rabu, 31 Agustus 2016

ketika wakil dan pembantu bak duri dalam daging Jokowi



ketika wakil dan pembantu bak duri dalam daging Jokowi

Jangankan anak kemarin sore, anak yang masih suka mengompol pun tahu liwat tayangan media penyiaran televisi, bahwasanya  peran dan posisi JK sebagai wapres dengan sang presiden Jokowi bukan sebagai dwitunggal. Pengalaman JK dengan SBY di periode 2004-2009 membuktikan seolah ada matahari kembar. JK merasa lebih cepat, lebih hebat. Sudah adatnya sebagai manusia Indonesia bagian timur, bukan bangsa timur, maunya nyelonong sendiri. Namun ketika dipersilahkan menyelonong malah bengong. Seperti mau maju ikut pilpres 2009.

Walhasil hubungan Jokowi dengan JK dibatasi aturan main barter politik. JK bisa bermain sebagai tukang pukul gong saat peresmian proyek negara, acara kenegaraan lainnya. Nilainya sebagai sesepuh kaum kuning utawa golongan karya, memang menjadikan ybs merasa di atas angin mamiri.

Perombakan kedua kabinet kerja tanpa kejar paket khusus, semangkin membuktikan malah Jokowi unjuk gigi. Terkekehnya tawa Jokowi menyuratkan dan menyiratkan bahwa si pembicara sudah ketebak lagak lagunya. Adab mengalahnya Jokowi sebagai ancang-ancang untuk meloncat, menyalip yang lebih dahulu lahir atau yang lebih awal mengabiskan asam garam politik. Jokowi membiarkan diri dan atau memang di bawah kendali, koordinasi, komunikasi bandar politik, dukun politik, pawang politik lintas negara. Opo tumon.

Menyoal kedudukan pembantu presiden, disinilah langkah catur politik Jokowi yang luput dari analisa pengamat politik lokal. Awal pelantikan, semua keinginan syahwat politik diakomodir habis-habisan. Biar rakyat yang menilai secara jujur. Opini masyarakat dijadikan dalih utama untuk melakukan pembenahan atau sebagai sumber masukan rasa keadilan dan rasa baik dan rasa benar. Sebagian masih dibiarkan bertindak seenak jidatnya sendiri. Karena, kalau Jokowi ikut campur tangan, walau secara konstitusional, ibarat babi yang didorong biar maju malah mau mundur. Babi ditarik moncongnya malah mengeluarkan tenaga dan tindakan perlawanan untuk bergerak mundur. Jadi banyak babi politik di lingkaran Jokowi.

Pasca rombak kedua kabinet kerja, langkah catur politik Jokowi memakai jurus membiarkan bola melambung setinggi-tingginya, kalau jatuh baru merasa. Artinya, ada pembantu presiden dibiarkan awet, betah duduk manis di kursinya. Biar sejarah yang mengadilinya. Ini salah satu cara jitu Jokowi merintis ke periode 2019. Jokowi tidak ingin memperbanyak ‘lawan politik’. Padahal, artinya masih ada model pelaku, pemain, pekerja politik yang jauh di atas rata-rata karakter ‘babi politik’. Wapres secara tak sadar malah diposisikan sebagai tukang berkoar, selain sebagai tukang pukul gong. Aliran air politik biar JK yang basah-basah, biar ybs girang dapat mainan basah, biar ybs sibuk dengan acara seremonial yang jadi fokus jurnalis. Bisa menjadi bahan baku lelucon, guyonan politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar