menteri ESDM 20 hari, salah usul vs usul salah
Kebijakan presiden Joko Widodo untuk melakukan bongkar
pasang para pembantunya di kabinet, merupakan hak prerogatif. Karena kedudukan
menteri, bisa berdampak politik yang tidak enteng, tentu penetapannya sudah
melalui seleksi, sensor, sortir yang ketat. Tim pencari fakta, tim pengendus
dan pelacak rekam jejak calon menteri tidak bekerja setengah hati.
Final penetapan ada
di tangan pasangan presiden dan wakil presiden. Karena demokrasi Indonesia
berbasis politik transaksional, politik balas jasa vs politik balas dendam,
serta tak lepas dari skenario konspirasi global, tak diragukan arus masuk
informasi cikal bakal menteri bersifat mendikte. Akhirnya, Joko Widodo hanya
tinggal terima matangnya.
Posisi dan nilai tawar Joko Widodo pada percaturan politik
Nusantra hanya sebatas sebagai petugas partai, bukan ketua umum apalagi pendiri
partai politik, maka tak diragukan lagi selalu menghadapi keputusan dilematis. Wajar
jika presiden, bukan sebagai pribadi, terkadang melakukan kesalahan politik. Akumulasi
kesalahan politik presiden tidak masuk kategori tindakan “perbuatan tercela”
menurut Pasal 7A, perubahan keempat UUD RI Tahun 1945. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar