dilema revolusi mental, pemilih Jokowi vs loyalis pemerintah
Tunggu kawan, apa ada
beda antara Joko Widodo dengan Pemerintah. Agar mendapatkan jawaban yang wajar
tanpa syarat, kita simak UU 32/2004 tentangan Pemerintahan Daerah, disuratkan melalui
Pasal 1 ayat 1 :
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
UU 32/2004 disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2004 oleh Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Perjalanan waktu berakibat UU 32/2004 tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Penggantinya adalah UU 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah. UU 23/2014 disahkan di Jakarta pada tanggal 30
September 2014 oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. H Susilo Bambang
Yudhoyono. Bagaimana, apa dan siapa yang disebut ‘Pemerintah’, mengalami
penyesuaian, menjadi dan disuratkan melalui Pasal 1 ayat 1 :
Pemerintah Pusat adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa untaian kata ‘selanjutnya disebut Pemerintah’ raib tanpa jejak, bekas, sisa secuwilpun. Apakah
ada dampak, efek samping, efek berantai, efek domino bagi Presiden Republik
Indonesia. Menyimak bahwa presiden dibantu wakil presiden dan menteri
memposisikan Pemerintah Pusat ditangan satu tim. Apakah kata Pemerintah yang
merupakan penyebutan Pemerintah Pusat masih berlaku. Ini baru masalah hukum, de jure.
Kalau mengingat dan salah
ingatan, apakah dengan atau sesuai de
facto, ada kisah lainnya. Lepas dari de
jure maupun de facto, sesuai
praktiknya dan khususnya jaréné mbokdé, presiden 2014-2019
adalah hanya sebatas petugas partai pdip. Ironisnya, dalam berbagai penampakkan
di media masa, Joko Widodo tampak kalah
awu dengan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, yang bukan kebetulan anak presiden kelima RI dan sekaligus
cucu Proklamator / presiden pertama RI. Dagelan politik Nusantara mengalamai
pasang surut.
Kalau dipetakan,
dispesifikasi lebih rinci, bagaimana strata sosial, betapa klas ekonomi, seberapa
kualitas pendidikan, takaran kadar politik, dan ukuran duniawi lainnya yang
disandang rakyat pemilih sampai relawan Jokowi/JK – seperti yang sudah diduga,
disangka, dikira pembaca.
Rakyat yang tidak
buta politik, rakyat yang sadar politik sekaligus, tidak salah kalau memilih
yang terbaik diantara dua pasang capres/cawapres yang memang baik. Penerawangan
mereka tidak sampai bedah logika, nalar, akal dan jiwa politik yang adiluhung
warisan nenek moyang. Demokrasi Indonesia, tanpa perantara maupun perwakilan,
jelasnya lagu wajibnya adalah politik bagi hasil, menjadikan suara terbanyak
menjadi pemenang.
Agak kebablasan. Agar
mudah dicerna, kita analogkan dengan cara orang tua memilih sekolah untuk
anaknya. Banyak pilihan yang semua serba baik. Wajar kalau pilihan jatuh ke
yang terbaik, yang favorit, yang sudah punya nama, yang bahkan memang merek. Tetapi
begitu kita terawang lebih jauh, masuk ke lapis berikutnya. Misal, walau
favorit, idaman, banyak alumni jadi orang, kalau jikalau andaikan ternyata
biaya pendidikan tak terjangkau. Lokasi tempat tinggal harus sesuai domisili
sekolah, sistem rayon atau aturan tertulis lainnya. Sebetulnya banyak tetek-bengek yang menjadikan cerdas
memilih. Lazim, jika terbaik maka akan muncul ter-ter berikutnya. Bisa-bisa
bisa dan memang bisa akhirnya orang tua “memilih” sekolah yang baik saja untuk
anaknya. Asal tidak minimalis.
Jangan lupa artinya
banyak faktor pertimbangan yang tidak masuk penerawangan rakyat yang
menggunakan hak pilihnya. Kita tidak tahu, apakah saat pesta demokrasi 2014,
rakyat trauma, alergi dengan orang partai. Atau watak bangsa Indonesia ‘suka barang baru’. Sehingga
pilihan mayoritas rakyat atau sesuai aturan main pesta demokrasi, jatuh pada
Joko Widodo.
Jadi, rakyat yang tidak
memilih Jokowi-JK beda jauh dengan yang memili Prabowo-Hatta, dalam hal faktor
pertimbangan.
Sejarah Indonesia
membuktikan, loyalis pemerintah karena mereka berorientasi pada sistem. Bukan berorientasi
pada orang. Selain stigma petugas partai, presiden
dianggap bisa sebagai pribadi (individu/perorangan). Sehingga diluar jam kerja,
jadwal kenegaraan kembali ke status warga negara biasa. Pasca reformasi
melahirkan jiwa kerdil dengan memandang lembaga kepresidenan bukan sesuatu yang
wajib dihormati. Dianggap sebagai loket jual karcis tonton laga kisruh sepak
bola. Diperparah dengan kader badut Senayan yang unjuk kata, unjuk rasa dan
unjuk raga. Paling parah, perombakan kabinet kerja 2014-2019 semangkin
membuktikan daripada ‘faktor pertimbangan’ yang tidak diungkap, tapi sudah
terlanjur jadi rahasia umum.
Jangan takut kawan, masih banyak
rakyat Indonesia yang masih berjiwa patriot nasionalis kebangsaan, cinta republik,
berjuang untuk tetap tegaknya NKRI. Yang jauh dari daya endus awak media masa
berbayar. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar