Halaman

Minggu, 21 Agustus 2016

dilema revolusi mental, pemilih Jokowi vs loyalis pemerintah



dilema revolusi mental, pemilih Jokowi vs loyalis pemerintah

Tunggu kawan, apa ada beda antara Joko Widodo dengan Pemerintah. Agar mendapatkan jawaban yang wajar tanpa syarat, kita simak UU 32/2004 tentangan Pemerintahan Daerah, disuratkan melalui Pasal 1 ayat 1 :
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU 32/2004 disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2004 oleh Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Perjalanan waktu berakibat UU 32/2004 tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Penggantinya adalah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU 23/2014 disahkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2014 oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana, apa dan siapa yang disebut ‘Pemerintah’, mengalami penyesuaian, menjadi dan disuratkan melalui Pasal 1 ayat 1 :
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa untaian kata ‘selanjutnya disebut Pemerintah  raib tanpa jejak, bekas, sisa secuwilpun. Apakah ada dampak, efek samping, efek berantai, efek domino bagi Presiden Republik Indonesia. Menyimak bahwa presiden dibantu wakil presiden dan menteri memposisikan Pemerintah Pusat ditangan satu tim. Apakah kata Pemerintah yang merupakan penyebutan Pemerintah Pusat masih berlaku. Ini baru masalah hukum, de jure.

Kalau mengingat dan salah ingatan, apakah dengan atau sesuai de facto, ada kisah lainnya. Lepas dari de jure maupun de facto, sesuai praktiknya dan khususnya jaréné mbokdé, presiden 2014-2019 adalah hanya sebatas petugas partai pdip. Ironisnya, dalam berbagai penampakkan di media masa, Joko Widodo tampak kalah awu dengan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, yang bukan kebetulan anak presiden kelima RI dan sekaligus cucu Proklamator / presiden pertama RI. Dagelan politik Nusantara mengalamai pasang surut.

Kalau dipetakan, dispesifikasi lebih rinci, bagaimana strata sosial, betapa klas ekonomi, seberapa kualitas pendidikan, takaran kadar politik, dan ukuran duniawi lainnya yang disandang rakyat pemilih sampai relawan Jokowi/JK – seperti yang sudah diduga, disangka, dikira pembaca.

Rakyat yang tidak buta politik, rakyat yang sadar politik sekaligus, tidak salah kalau memilih yang terbaik diantara dua pasang capres/cawapres yang memang baik. Penerawangan mereka tidak sampai bedah logika, nalar, akal dan jiwa politik yang adiluhung warisan nenek moyang. Demokrasi Indonesia, tanpa perantara maupun perwakilan, jelasnya lagu wajibnya adalah politik bagi hasil, menjadikan suara terbanyak menjadi pemenang.   

Agak kebablasan. Agar mudah dicerna, kita analogkan dengan cara orang tua memilih sekolah untuk anaknya. Banyak pilihan yang semua serba baik. Wajar kalau pilihan jatuh ke yang terbaik, yang favorit, yang sudah punya nama, yang bahkan memang merek. Tetapi begitu kita terawang lebih jauh, masuk ke lapis berikutnya. Misal, walau favorit, idaman, banyak alumni jadi orang, kalau jikalau andaikan ternyata biaya pendidikan tak terjangkau. Lokasi tempat tinggal harus sesuai domisili sekolah, sistem rayon atau aturan tertulis lainnya. Sebetulnya banyak tetek-bengek yang menjadikan cerdas memilih. Lazim, jika terbaik maka akan muncul ter-ter berikutnya. Bisa-bisa bisa dan memang bisa akhirnya orang tua “memilih” sekolah yang baik saja untuk anaknya. Asal tidak minimalis.

Jangan lupa artinya banyak faktor pertimbangan yang tidak masuk penerawangan rakyat yang menggunakan hak pilihnya. Kita tidak tahu, apakah saat pesta demokrasi 2014, rakyat trauma, alergi dengan orang partai. Atau watak bangsa Indonesia ‘suka barang baru’. Sehingga pilihan mayoritas rakyat atau sesuai aturan main pesta demokrasi, jatuh pada Joko Widodo.

Jadi, rakyat yang tidak memilih Jokowi-JK beda jauh dengan yang memili Prabowo-Hatta, dalam hal faktor pertimbangan.

Sejarah Indonesia membuktikan, loyalis pemerintah karena mereka berorientasi pada sistem. Bukan berorientasi pada orang. Selain stigma petugas partai, presiden dianggap bisa sebagai pribadi (individu/perorangan). Sehingga diluar jam kerja, jadwal kenegaraan kembali ke status warga negara biasa. Pasca reformasi melahirkan jiwa kerdil dengan memandang lembaga kepresidenan bukan sesuatu yang wajib dihormati. Dianggap sebagai loket jual karcis tonton laga kisruh sepak bola. Diperparah dengan kader badut Senayan yang unjuk kata, unjuk rasa dan unjuk raga. Paling parah, perombakan kabinet kerja 2014-2019 semangkin membuktikan daripada ‘faktor pertimbangan’ yang tidak diungkap, tapi sudah terlanjur jadi rahasia umum. 

Jangan takut kawan, masih banyak rakyat Indonesia yang masih berjiwa patriot nasionalis kebangsaan, cinta republik, berjuang untuk tetap tegaknya NKRI. Yang jauh dari daya endus awak media masa berbayar. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar