Miripnya
Suharto dengan daripada Joko Widodo
Tentu.
Bukan karena sentimen etnis, atau dikotomi sipil vs militer, maupun atas
permintaan penggemar di pasar bebas politik dalam negeri. Tidak aneh tapi nyleneh, kalau presiden kedua RI
dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan presiden ketujuh RI. Mengacu media
massa dalam berbagai bentuk tampilan, tayangan yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi, kita secara acak bisa mengacak-acak berbagai ujar
tulis, olah kata atau uneg-uneg yang
dipajang bebas.
Suharto
tidak meninggalkan ajaran tertulis seperti pendahulunya. Jangan ditanya, pasca
lengser keprabonnya, bahkan sepeninggal beliau, ternyata ada beberapa pola
pikir, ucap dan tindaknya membekas di hati rakyat. Tak sedikit orang yang
bangkit sukses, mampu menjadi orang di zaman Orde Baru, sampai sekarang tentu
tak akan mau mengkhianati pak Harto. Kalangan militer; kawanan parpolis bongkaran,
bubaran, pecahan, apkiran PPP, PDI dan Golkar tidak bisa bebas dari bayang-bayang
Suharto. Terlebih atau hanya pelaku
ekonomi asing berbaju lokal yang tetap eksis dan berkibar di bawah pemerintahan
siapa pun.
Falsafah
hidup wong Jawa dalam melaksanakan hakikat sebagai hamba Allah, antara lain
jangan sombong, jangan suka pamer, jangan umbar omongan walau itu benar. Pertama,
jangan membicarakan amal diri, biar dikira orang baik. Kedua, jangan mengatakan
kalau dirinya hebat, pemberani, tak pilih tanding, agar diperhitungkan
keberadaannya, esksistensinya. Juga jangan hiraukan kalau ada orang yang suka jadi
pengujat sekaligus penjilat atau ada pihak yang gemar menjilat sekaligus
menghujat. Karena asas politik atau ideologi dalam negeri adalah dalam merebut
dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional, jangan memakai takaran
moral, etika, norma.
Jangankan
mengadapi lawan politik, bersikap terhadap konco separtai, tetapi tidak
sepemikiran, kalau perlu libas sampai tuntas. Cara pak Harto dengan modal
senyum sang jenderal besar, dalam menyikapi kondisi pro dan kontra atas
dirinya, dengan cara dirangkul, dijadikan mitra. Kalau tidak mau, tanpa
cingcong dengan cara didengkul.
Terkekehnya
Joko Widodo sebagai pertanda bahwa ybs sedang membaca situasi dan watak orang
yang bersuara disekitarnya. Jangan lupa, loyalis Suharto masih eksis dan turun
temurun. Bukan politikus tetapi mampu manjadikan Golkar sebagai kendaraan
politiknya. Bagaimana dengan daya juang dan jiwa pengorbanan relawan Jokowi?
Mereka tersadar ketika terjadi perombakan kabinet kerja. Betapa yang semula
menjadi oposan malah jadi oplosan dengan pemerintah.
Yang
bikin rakyat bangkit, ketika para pelaku, pemain, pekerja partai – mulai oknum ketua umum dengan hak prerogatif
sampai bolo dupak – yang menganggap negara ini sebagai
warisan dari nenek moyangnya. Kadar jiwa idelogi anak bangsa sudah terpuruk
sampai lembah dan titik dasar, terbukti memposisikan dan menganggap jabatan
presiden atau presidennya sebagai pribadi. Joko Widodo dinyatakan hanya sebatas
petugas partai. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar