Halaman

Senin, 29 Agustus 2016

Miripnya Suharto dengan daripada Joko Widodo



Miripnya Suharto dengan daripada Joko Widodo

Tentu. Bukan karena sentimen etnis, atau dikotomi sipil vs militer, maupun atas permintaan penggemar di pasar bebas politik dalam negeri. Tidak aneh tapi nyleneh, kalau presiden kedua RI dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan presiden ketujuh RI. Mengacu media massa dalam berbagai bentuk tampilan, tayangan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, kita secara acak bisa mengacak-acak berbagai ujar tulis, olah kata atau uneg-uneg yang dipajang bebas.

Suharto tidak meninggalkan ajaran tertulis seperti pendahulunya. Jangan ditanya, pasca lengser keprabonnya, bahkan sepeninggal beliau, ternyata ada beberapa pola pikir, ucap dan tindaknya membekas di hati rakyat. Tak sedikit orang yang bangkit sukses, mampu menjadi orang di zaman Orde Baru, sampai sekarang tentu tak akan mau mengkhianati pak Harto. Kalangan militer; kawanan parpolis bongkaran, bubaran, pecahan, apkiran PPP, PDI dan Golkar tidak bisa bebas dari bayang-bayang Suharto. Terlebih atau hanya  pelaku ekonomi asing berbaju lokal yang tetap eksis dan berkibar di bawah pemerintahan siapa pun.

Falsafah hidup wong Jawa dalam melaksanakan hakikat sebagai hamba Allah, antara lain jangan sombong, jangan suka pamer, jangan umbar omongan walau itu benar. Pertama, jangan membicarakan amal diri, biar dikira orang baik. Kedua, jangan mengatakan kalau dirinya hebat, pemberani, tak pilih tanding, agar diperhitungkan keberadaannya, esksistensinya. Juga jangan hiraukan kalau ada orang yang suka jadi pengujat sekaligus penjilat atau ada pihak yang gemar menjilat sekaligus menghujat. Karena asas politik atau ideologi dalam negeri adalah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional, jangan memakai takaran moral, etika, norma.

Jangankan mengadapi lawan politik, bersikap terhadap konco separtai, tetapi tidak sepemikiran, kalau perlu libas sampai tuntas. Cara pak Harto dengan modal senyum sang jenderal besar, dalam menyikapi kondisi pro dan kontra atas dirinya, dengan cara dirangkul, dijadikan mitra. Kalau tidak mau, tanpa cingcong dengan cara didengkul.

Terkekehnya Joko Widodo sebagai pertanda bahwa ybs sedang membaca situasi dan watak orang yang bersuara disekitarnya. Jangan lupa, loyalis Suharto masih eksis dan turun temurun. Bukan politikus tetapi mampu manjadikan Golkar sebagai kendaraan politiknya. Bagaimana dengan daya juang dan jiwa pengorbanan relawan Jokowi? Mereka tersadar ketika terjadi perombakan kabinet kerja. Betapa yang semula menjadi oposan malah jadi oplosan dengan pemerintah.

Yang bikin rakyat bangkit, ketika para pelaku, pemain, pekerja partai mulai oknum ketua umum dengan hak prerogatif sampai bolo dupak yang menganggap negara ini sebagai warisan dari nenek moyangnya. Kadar jiwa idelogi anak bangsa sudah terpuruk sampai lembah dan titik dasar, terbukti memposisikan dan menganggap jabatan presiden atau presidennya sebagai pribadi. Joko Widodo dinyatakan hanya sebatas petugas partai.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar