akankah, orang parpol hanya
pantas sebagai pemantas demokrasi
Trenyuhnyé ati iki, karena rasa curiga yang penuh dengan fakta dan bukti bertebaran di muka
bumi Nusantara. Betapa kata ki dalang, bencana politik yang akrab dan datang
silih berganti atau breg bersamaan
bukan tanpa sebab. Pasca reformasi 21 Mei 1998, bangsa ini memasuki tatanan
peradaban bahwasanya kekuasaan bisa diwariskan, bak sistem kerajaan zaman doeloe.
Minimal “sang pewaris” merasa berhak atas warisaan sebagai penyelenggara
negara.
Krenteging ati iki, mbuh atiné sopo, ternyata nyatanya di panggung, gelanggang, industri, syahwat politik
semakin menujukkan aroma irama bahwa dengan modal nama orang tua, tidak pakai
lama, langsung bisa berkibar di puncak. Hak mereka untuk mewarikan ilmu politik
ke anak keturunannya atau kerabat horizontal. Sekaligus sang anak tahu diri
menempatkan diri di bawah baying-bayang orang tuanya. Sampai tingkat
kabupaten/kota, sudah menjadi hak politik anak bangsa yang tidak bisa diganggu
gugat.
Ati iki ora iso diapusi lan
diuriki, melihat orang politik melenggang kangkung tanpa rasa malu, nangkrong dan
nongkrong, modal menang pesta demokrasi, berhak duduk di kursi terdepan. Berhak
duduk di pucuk pimpinan. Ironis dan tragis merasa berhak menentukan perjalanan
hidup dan nasib bangsa lima tahun ke depan. Kemenangan karena jumlah, sesuai
asas demokrasi, hanya akan melahirkan pecundang politik, petualangg politik, bukan
pejuang politik. Bukan monopoli kaum adam, bahkan kaum hawa semakin meposisikan
diri sebagai pecundang politik.
Sing tansah ati-ati wae isi iso
kejlungup mbokdé. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar