Halaman

Sabtu, 13 Agustus 2016

akankah, orang parpol hanya pantas sebagai pemantas demokrasi



akankah, orang parpol hanya pantas sebagai pemantas demokrasi

 Trenyuhnyé ati iki, karena rasa curiga yang penuh dengan fakta dan bukti bertebaran di muka bumi Nusantara. Betapa kata ki dalang, bencana politik yang akrab dan datang silih berganti atau breg bersamaan bukan tanpa sebab. Pasca reformasi 21 Mei 1998, bangsa ini memasuki tatanan peradaban bahwasanya kekuasaan bisa diwariskan, bak sistem kerajaan zaman doeloe. Minimal “sang pewaris” merasa berhak atas warisaan sebagai penyelenggara negara.

Krenteging ati iki, mbuh atiné sopo, ternyata nyatanya di panggung, gelanggang, industri, syahwat politik semakin menujukkan aroma irama bahwa dengan modal nama orang tua, tidak pakai lama, langsung bisa berkibar di puncak. Hak mereka untuk mewarikan ilmu politik ke anak keturunannya atau kerabat horizontal. Sekaligus sang anak tahu diri menempatkan diri di bawah baying-bayang orang tuanya. Sampai tingkat kabupaten/kota, sudah menjadi hak politik anak bangsa yang tidak bisa diganggu gugat.

Ati iki ora iso diapusi lan diuriki, melihat orang politik melenggang kangkung tanpa rasa malu, nangkrong dan nongkrong, modal menang pesta demokrasi, berhak duduk di kursi terdepan. Berhak duduk di pucuk pimpinan. Ironis dan tragis merasa berhak menentukan perjalanan hidup dan nasib bangsa lima tahun ke depan. Kemenangan karena jumlah, sesuai asas demokrasi, hanya akan melahirkan pecundang politik, petualangg politik, bukan pejuang politik. Bukan monopoli kaum adam, bahkan kaum hawa semakin meposisikan diri sebagai pecundang politik.

Sing tansah ati-ati wae isi iso kejlungup mbokdé. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar