opo tumon, sentimen negatif rakyat vs citra positif partai
Orang politik tidak mau dibilang miskin, karena
mereka ahli mengurus dapur negara. Sekaligus tidak suka disebut kaya, karena
merasa berjuang bersama rakyat, di tengah-tengah rakyat. Mereka berani mati,
berani malu untuk rakyat, demi rakyat, karena rakyat. Kata yang empunya cerita.
Ironisnya, antar partai politik walau tampak nyata bedanya, yaitu ada partai politik
pro-pemerintah yang sedang praktik, ada partai politik berbasis agama, dan
sisanya ada partai politik apa adanya, terdapat benang merah kentalnya, yaitu
sama-sama memperjuangkan kepentingan.
Orang politik mengharamkan orang lain menyebut
dirinya sebagai mantan penyelenggara negara. Minta disebut lengkap sebagai penyelenggara
negara di periode kapan. Sebut tahunnya. Atau sebut urutan keberapa kalau
pernah jadi kepala negara/presiden. Era pasca reformasi melahirkan 3 (tiga)
presiden yang menjabat tidak sampai satu
periode atau lima tahun. Beberapa pembantu presiden dari unsur partai yang numpang
liwat, padahal mereka kader pilihan, kader terbaik dari partai politik, kader yang
sudah teruji kadar loyal, patuh, taat kepada ketua partai.
Orang politik, jangankan belajar dari pediode SBY
yang mengapa bisa sampai dua periode berturut-turut bisa unggul di pemilu legislatif
dan pilpres. Apakah karena lawan politinya memakai faham Jawa yaitu “sing wani ngalah, dhuwur wekasane”. Peribahasa
berujar “menang jadi arang, kala jadi abu”. Sejarah berkata lain. “yang memang
jadi arang, karena tidak siap menang jadi abu”. Ada yang lupa tertulis, yaitu
orang politik tidak belajar dari sesama orang politik, apalagi beda partai
politik. KPK ganti pengurus, pasca dikriminalisasi oleh kawanan koruptor, masih
bisa melakukan operasi tangkap tangan, atau betapa orang partai menjadi
terpidana kasus korupsi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar