Halaman

Kamis, 04 Agustus 2016

opo tumon, sentimen negatif rakyat vs citra positif partai



opo tumon, sentimen negatif rakyat vs citra positif partai

Orang politik tidak mau dibilang miskin, karena mereka ahli mengurus dapur negara. Sekaligus tidak suka disebut kaya, karena merasa berjuang bersama rakyat, di tengah-tengah rakyat. Mereka berani mati, berani malu untuk rakyat, demi rakyat, karena rakyat. Kata yang empunya cerita. Ironisnya, antar partai politik walau tampak nyata bedanya, yaitu ada partai politik pro-pemerintah yang sedang praktik, ada partai politik berbasis agama, dan sisanya ada partai politik apa adanya, terdapat benang merah kentalnya, yaitu sama-sama memperjuangkan kepentingan.

Orang politik mengharamkan orang lain menyebut dirinya sebagai mantan penyelenggara negara. Minta disebut lengkap sebagai penyelenggara negara di periode kapan. Sebut tahunnya. Atau sebut urutan keberapa kalau pernah jadi kepala negara/presiden. Era pasca reformasi melahirkan 3 (tiga) presiden yang  menjabat tidak sampai satu periode atau lima tahun. Beberapa pembantu presiden dari unsur partai yang numpang liwat, padahal mereka kader pilihan, kader terbaik dari partai politik, kader yang sudah teruji kadar loyal, patuh, taat kepada ketua partai.

Orang politik, jangankan belajar dari pediode SBY yang mengapa bisa sampai dua periode berturut-turut bisa unggul di pemilu legislatif dan pilpres. Apakah karena lawan politinya memakai faham Jawa yaitu “sing wani ngalah, dhuwur wekasane”. Peribahasa berujar “menang jadi arang, kala jadi abu”. Sejarah berkata lain. “yang memang jadi arang, karena tidak siap menang jadi abu”. Ada yang lupa tertulis, yaitu orang politik tidak belajar dari sesama orang politik, apalagi beda partai politik. KPK ganti pengurus, pasca dikriminalisasi oleh kawanan koruptor, masih bisa melakukan operasi tangkap tangan, atau betapa orang partai menjadi terpidana kasus korupsi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar