Halaman

Kamis, 18 Agustus 2016

presiden dan hak tolak stigma petugas partai



presiden dan hak tolak stigma petugas partai

Pasca reformasi 21 Mei 1998 kehidupan orang politik bak lepas dari pingitan selama masa era Orde Baru. Ironis nyaris drastis, pemain lama orang parpol maupun golkar, bukannya siap estafet panggung politik. Sejarah membuktikan, oknum reformis malah mentah dalam, busuk luar. Cuma ada yang menang nama, menang merek, rakyat masih menghargai atau kata lain dari rasa kasihan.

Padahal, di panggung politik Nusantara tidak mengenal rasa kasihan. Yang ada, lawan politik kalau bisa dibumihanguskan, dimusnahkan sampai cindil abangnya. Jangan dibiarkan tunas. Jangan dibiarkan menarik nafas lega. Terlebih ketika preman masuk partai, menjadi anggota parlemen atau menjadi kepala daerah. Semua akibat egek domino bahwa demokrasi adalah menang karena suara terbanyak. Jauh dari pasal benar dan baik, apalagi norma kerakyatan.

Hukum tergantung siapa yang menterjemahkan. Semisal, presiden dianggap bisa sebagai pribadi (individu/perorangan). Sehingga diluar jam kerja, jadwal kenegaraan kembali ke status warga negara biasa. Pasca reformasi melahirkan jiwa kerdil dengan memandang lembaga kepresidenan bukan sesuatu yang wajib dihormati. Dianggap sebagai loket jual karcis tonton laga kisruh sepak bola. Diperpara dengan kader badut Senayan yang unjuk kata, unjuk rasa dan unjuk raga.

Posisi presiden Joko Widodo dimata partai politik juara umum pemilu legislatif 2014, yang berjasa mengusungnya hingga jadi presiden, hanya dianggap sebagai petugas partai. Artinya, Joko Widodo sebagai presiden, wajib loyal, tunduk, taat kepada kebijakan partai. Tepatnya harus mengahamba kepada oknum ketua umum yang menyandang hak prerogatif.

Stigma yang dinyatakan oleh pdip, wajar, dan lebih wajar lebih dahsyat daripada ujar kebencian, teror kata versi media masa berbayar, pencemaran nama baik, maupun kriminalisasi terselubung. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar