presiden dan hak tolak stigma petugas partai
Pasca reformasi 21 Mei 1998 kehidupan orang politik bak
lepas dari pingitan selama masa era Orde Baru. Ironis nyaris drastis, pemain
lama orang parpol maupun golkar, bukannya siap estafet panggung politik. Sejarah
membuktikan, oknum reformis malah mentah dalam, busuk luar. Cuma ada yang
menang nama, menang merek, rakyat masih menghargai atau kata lain dari rasa
kasihan.
Padahal, di panggung politik Nusantara tidak mengenal rasa
kasihan. Yang ada, lawan politik kalau bisa dibumihanguskan, dimusnahkan sampai
cindil abangnya. Jangan dibiarkan tunas. Jangan dibiarkan menarik nafas lega. Terlebih
ketika preman masuk partai, menjadi anggota parlemen atau menjadi kepala
daerah. Semua akibat egek domino bahwa demokrasi adalah menang karena suara
terbanyak. Jauh dari pasal benar dan baik, apalagi norma kerakyatan.
Hukum tergantung siapa yang menterjemahkan. Semisal,
presiden dianggap bisa sebagai pribadi (individu/perorangan). Sehingga diluar
jam kerja, jadwal kenegaraan kembali ke status warga negara biasa. Pasca
reformasi melahirkan jiwa kerdil dengan memandang lembaga kepresidenan bukan
sesuatu yang wajib dihormati. Dianggap sebagai loket jual karcis tonton laga
kisruh sepak bola. Diperpara dengan kader badut Senayan yang unjuk kata, unjuk
rasa dan unjuk raga.
Posisi presiden Joko Widodo dimata partai politik juara umum
pemilu legislatif 2014, yang berjasa mengusungnya hingga jadi presiden, hanya
dianggap sebagai petugas partai. Artinya, Joko Widodo sebagai presiden, wajib
loyal, tunduk, taat kepada kebijakan partai. Tepatnya harus mengahamba kepada
oknum ketua umum yang menyandang hak prerogatif.
Stigma yang dinyatakan oleh pdip, wajar, dan lebih wajar
lebih dahsyat daripada ujar kebencian, teror kata versi media masa berbayar, pencemaran
nama baik, maupun kriminalisasi terselubung. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar