antara stigma petugas partai dan syahwat politik presiden senior
Namanya babakan wayang, boleh asal menayangkan lakon apa
saja. Asal merupakan perpaduan kisah Mahabharata dengan Ramayana. Kejadian dimana,
kapan, tak penting kata ki Dalang. Siapa saja pelakunya, tergantung selera
penanggap. Entah pada acara sunatan warga desa, acara 17 Agustusan antar kampung,
acara kenegaraan atau acara rakyat yang murah meriah.
Ki Dalang, tentunya kalau dalang ya dalang wayang kulit.
Versi tayangan tidak perlu dipusingkan. Pakai bahasa lokal atau bahasa baku
pewayangan, tidak peril diperdebatkan. Mau menyesuaikan dengan bahasa penonton,
dipersilahkan. Mau gaya komedian, humor, banyolan, sejauh tidak melanggar pasal
konstitusi, tidak akan disensor oleh KPK. Namanya siaran langsung.
Kisah yang akan disajikan tanpa skenario. Semua bersifat improvisasi
dan kekebasan berekspresi sang dalang.
Kali ini, pada kesempatan terbatas, ki Dalang dengan yakin,
mantap mau membeberkan fakta di kerajaan yang tidak perna ada di peta bumi. Suatu
ketika, ketika itu sedang demam panggung politik. Semua tokoh wayang mabuk,
linglung dan bingung mau berbuat apa. Mau kudeta kedudukan Rahwana, tidak ada
yang berani. Nekat, sama saja bunuh diri hidup-hidup. Niat makar melengserkan
raja Hastina, takut kena kutuk dewa. Karena sudah ada skenario para dewa, akan
terjadi Bharata Yudha.
Klimaks adegan, ki Dalang kehabisan bahasa. Karena para
penoton malah main wayang sendiri-sendiri. Pemodal yang nanggap ki Dalang,
malah santai jagongan dengan pihak tertentu, malah ada lawan politiknya ikut nyekakak, bebas. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar