antara
full day school, perokok pemula dan wisata narkoba
Dengan
subyek yang sama, yaitu anak usia sekolah wajib belajar sembilan tahun, seolah
antar menteri kabinet kerja unjuk diri sebagai pekerja, sedang bekerja, sibuk
bekerja. Belum selesai pro dan kontra wacana mendikbud bertajuk full day school (fds) muncul ujar mensos
: radikalisme bidik anak-anak. Copasnya dari laman republika.co.id sbb :
Mensos : Radikalisme
Bidik Anak-Anak
Ahad, 28 Agustus 2016,
13:20 WIB. REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pekerjaan rumah
bagi pekerja sosial adalah menghadapi bahaya rekrutmen dan doktrin radikalisme
yang sudah menyasar anak-anak usia sekolah menengah.
"Doktrin dan paham radikal indikasinya sudah ditanamkan kepada anak-anak usia sekolah menengah, yaitu kelas 2 dan 3 atau berumur 14 dan 15 tahun. Hal ini harus dihentikan melalui pendekatan kesejahteraan sosial pekerja sosial," katanya, Ahad (28/8).
Tugas pemerintah yakni memahami identitas radikalisme dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Selain itu menyiapkan standar kompetensi untuk pekerjaan sosial dan pekerja sosial. Negara-negara ASEAN lain pun mendapatkan tugas yang sama seperti Indonesia, tapi berbeda tema dan fokus yang harus dikaji dan dipersiapkan pada pertemuan yang akan digelar tahun depan tersebut.
"Bagi Indonesia, tidak hanya menyiapkan identitas memahami radikalisme dan mewujdukan kesejahteraan. Namun, ditambah dengan pemetaan masalah dan fokus pada penanganan masalah," ujar Khofifah.
- - - - - - - -
Padahal,
oknum pe-revolusi mental sedang sibuk atau disibuki urusan penyesuaian harga
jual rokok Indonesia dengan mancanegara. Muncul angka 50 ribu Rp perbungkus.
Kita tidak tahu pihak mana yang dibela pemerintah. Parpol yang pro-rakyat hanya
bersikap adem ayem, berarti ada udang rebon di balik batu.
Indonesia
dikenal sejak zaman doeloe sebagai negara agraris, memunculkan profesi petani
tembakau. Kita yakin pendekatan politik untuk memuliakan petana tembakau tidak
sekedar di atas kertas. Malah jangan-jangan konsep akademisnya pun juga belum
disepakati bersama. Akankah kawanan wakil rakyat sampai tingkat kabupaten/kota
peduli pada nasib petani tembakau, secara rutin. Bukan pada saat ada huru-hara
wacana politik, baru bertindak.
Jangan
lupa, wacana harga jual rokok yang seolah-olah pro-anak yang faktanya bahwa
perokok pemula semakin muda, seperti kita saksikan di lingkungan tempat tinggal
kita, di jalanan, di angkutan umum. Semangat bonus demografi menyebabkan anak
<15 tahun jadi sasaran tembak pelaku ekonomi yang berkubang di industri rokok.
Skenario
konspirasi pelaku ekonomi internasional adalah melemahkan NKRI mulai dari
jabang bayi. Belum dengan adanya bahwa Indonesia sebagai negara tujuan utama
wisata narkoba. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar