asu
mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné
Rebat cekap. Cekak aos. Memang tidak
ada hubungan diplomatik, tidak terjadi hubungan industrialis Pancasila, maupun
masuk kaidah sebab akibat atau konektivitas di judul.
Hidup di alam nyata, yang
berpasangan, padanan, simetris bilateral, bak pinang dibelah dua, atau
berkeduabelahpihakan tidak sekedar tersurat. Tersirat dengan terang benderang. Tidak
perlu dijelaskan atau sengaja dibantah.
Grafik kehidupan umat manusia,
sejalan dengan pergantian waktu, bukan seperti arisan. Apalagi berharap
mendapat warisan yang nantinya juga bisa diwariskan.
Adat manusia yang ingin mengulang
apa saja yang dirasa kurang. Merenung atau menyesal mengapa dulu tidak berbuat
banyak. Ikhwal ini dijelaskan secara berulang melalui firman Allah swt melalui
surah dan/atau ayat Al Qur’an.
Maunya, manusia mau hidup lama. Atau
malah mau hidup kembali untuk memperbaiki rapor amalnya. Menghapus rekam jejak
yang minus. Mengulang, memperbaiki, meningkatkan nilai kehidupan yang membuat
timbangan amalnya masuk kategori tidak menyenangkan.
Jadi, selagi berkuasa, pakai aji
mumpung vs mumpung aji.
Termasuk memlesetkan trilogi ki
Hajar Dewantara.
Mendaur ulang masa lalu,
menghadirkan kejayaan masa lalu dikemas dengan syahwat terkini. Perilaku ngorèti
ceting.
Ingat judul “mbalèni sega wadhang vs
mbélani sega wadhang”.
Di panggung politik, beredar fatwa
bahwa pemain tua sudah membosankan atau nyaris tak populer. Jangan lupa,
semangat 1945 bisa tetap membara akan tetapi semangat Reformasi tak kalah
garang. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar