Halaman

Sabtu, 27 Januari 2018

asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné


asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné

Rebat cekap. Cekak aos. Memang tidak ada hubungan diplomatik, tidak terjadi hubungan industrialis Pancasila, maupun masuk kaidah sebab akibat atau konektivitas di judul.

Hidup di alam nyata, yang berpasangan, padanan, simetris bilateral, bak pinang dibelah dua, atau berkeduabelahpihakan tidak sekedar tersurat. Tersirat dengan terang benderang. Tidak perlu dijelaskan atau sengaja dibantah.

Grafik kehidupan umat manusia, sejalan dengan pergantian waktu, bukan seperti arisan. Apalagi berharap mendapat warisan yang nantinya juga bisa diwariskan.

Adat manusia yang ingin mengulang apa saja yang dirasa kurang. Merenung  atau menyesal mengapa dulu tidak berbuat banyak. Ikhwal ini dijelaskan secara berulang melalui firman Allah swt melalui surah dan/atau ayat Al Qur’an.

Maunya, manusia mau hidup lama. Atau malah mau hidup kembali untuk memperbaiki rapor amalnya. Menghapus rekam jejak yang minus. Mengulang, memperbaiki, meningkatkan nilai kehidupan yang membuat timbangan amalnya masuk kategori tidak menyenangkan.

Jadi, selagi berkuasa, pakai aji mumpung vs mumpung aji.

Termasuk memlesetkan trilogi ki Hajar Dewantara.

Mendaur ulang masa lalu, menghadirkan kejayaan masa lalu dikemas dengan syahwat terkini. Perilaku ngorèti ceting.

Ingat judul “mbalèni sega wadhang vs mbélani sega wadhang”.

Di panggung politik, beredar fatwa bahwa pemain tua sudah membosankan atau nyaris tak populer. Jangan lupa, semangat 1945 bisa tetap membara akan tetapi semangat Reformasi tak kalah garang. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar