humor
tahun politik 2018, mengelus-elus buaya
Menjalankan sebuah partai politik,
tak perlu ilmu. Mengandalkan asas taat, patuh, loyal kepada sang pembuat
kebijakan, maka akan aman tak diganggu gugat. Bagaimana dengan hingar-bingar
sang oknum ketua umum.
Logika politiknya, bahwa semakin
besar biaya politik akan berbanding lurus dengan raihan kursi di pesta
demokrasi. Rekam jejaknya secara nasional, menggadaikan republik ini bukan
masalah. Demi raih sukses, apa arti pengorbanan dalam bentuk apapun, siapapun.
Memang, hasil pilkada serentak 2018
sangat menentukan peta politik nasional. Seperti inden atau memberi uang tanda
jadi di pemilu legislatif serentak dengan pilpres 2019.
Bukannya “belum meminang sudah
menimang”, di atas kertas harus dirinci siapa akan menjadi apa,
siapa kebagian apa, siapa yang harus dikambinghitamhkan, siapa yang harus
dikorbankan. Bahkan semua taktik, modus, rekayasa menjadi menu hariannya. Hafal
di luar kepala.
Secara yuridis historis memang ada
anak cucu biologis pewaris jiwa Nasakom.
Untung ki dalang Sobopawon, masih
bisa ngelus
dada, lanjut garuk-garuk kepala sendiri dan punggung tetangga. Diakhiri dengan
tepuk pantat, tepuk jidat. Ambil nafas panjang, buang ke segala arah. Lanjutkan
tugas. Lupa sampai dimana.
Tahun politik bak permainan ular
naik tangga. Makanya sang ular, siap dengan segala risiko politik.
Ingat ujaran imajiner BK :”Beri
cucuku kursi presiden, jangan hanya kursi pembantu presiden”. Presiden ke-7 RI
hanya terkekeh-kekeh, geli tanpa sebab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar