revolusi
mental di tahun politik, malu-malu serigala vs jinak-jinak buaya
Namanya politik, apa memang beda
dengan pengertian ideologi. Politik adalah terserah yang berkepentingan. Mau
dirumuskan sampai model terserah permintaan pasar. Semua sah-sah saja.
Penghalang utama justru adanya pasal
dengan asas patuh, taat; loyal, setia serta sebutan lainnya. Menjadi dasar
kewajiban bagi penyelenggara negara. Modus ini menjadikan terjadi agen ganda. Beban
agenda politik menjadikan mendua atau bahkan lebih. Tergantung daya tarik Rp.
Aparat keamanan dan pertahanan,
sudah diformat sebagai pendukung utama penguasa. Tanpa perlu pikir. Langsung siap
kerjakan.
Revolusi mental semangkin kelabakan
mengendus musuh nyata. Semangkin tidak berpeluang merekayasa bagaimana caranya
mencari kambing hitam secara konstitusional.
Antara musuh negara dengan musuh
rakyat sudah jelas. Tidak samar-samar.
Di pihak lain, mana penganut
ideologi sejati, abal-abal, sesuai pesanan, pokoke menang . . . semua jadi
satu. Terlihat bahwa daya juang ideologi manusia politik sangat tergantung
arahan, petunjuk manusia ekonomi.
Partai politik yang akonum ketua
umumnya pernah merasakan nikmat jadi presiden dan/atau wakil presiden, tentu
tak akan tinggal diam. Seolah jabatan tsb sebagai hal waris atau hak milik
parpolnya.
Ki dalang Sobopawon bingung binti
linglung, kehabisan stok wayang dengan aneka watak. Bahkan tak mampu mewujudkan
watak politik dalam bentuk tokoh wayang. Padahal, yamg main itu-itu saja. hanya ganti kustom, rubah nomor punggung. Wayang asing mendominasi percaturan
politik nasional.
Skenario berlapis sudah siap. Jangan
heran, anak melawan orangtua sudah bukan hal yang tabu. Siapa makan siapa,
menjadi langkah cerdas. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar