ketahanan ideologi vs swasembada ideologi
Ada penggali Pancasila, ada
penimbun Pancasila. Seperti tak ada korelasi nyatanya. Di dunia politik
Nusantara, apapun bisa terjadi dan selalu akan terjadi.
Ketika sebuah partai politik
perusahaan keluarga, mendadak ingat akan sila pertama Pancasila. Jadi selama
ini dikemanakan sang sila pertama tersebut. Atau karena kebijakan oknum ketua umum denga hal
prerogatifnya, ororiternya, sudah punya dasar ideologi selain Pancasila.
Sejarah membuktikan, bahwasanya barangsiapa
bermain api, akan hangus terbakar. Tak terkecuali ketika penguasa Orde Lama
bermain politik dengan mendeklarasikan NasAKom (nasionalis, agama, komunis)
sebagai menu utama.
Wajar, manusiawi, alami kalau
seorang presiden, kepala negara, pengemban amanat MPR saat itu berdiri di semua
golongan dan aliran ideologi. ikhwal ini disederhanakan oleh penggantinya,
penguasa tunggal Orde Baru, dengan menjadikan Golongan Karya sebagai kendaraan
politiknya.
Ironis binti miris, manusia
dan/atau orang politik di Nusantara, mendaulat bahwasanya jabatan ketua umum
sebuah partai politik sebagai syarat utama ikut pemilihan presiden.
Industri, komoditas dan syahwat
politik Nusantara tak akan pernah redup dari gegap-gempita urusan berhala
reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa). Puncak atau klimaksnya di periode
2014-2019. Daya tarik pergerakan politik bebas aktif dalam negeri yang identik
dengan makar konstitusional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar