Halaman

Selasa, 30 Januari 2018

modus ujaran penguasa, tunggak jarak mrajak vs tunggak jati mati



modus ujaran penguasa, tunggak jarak mrajak vs tunggak jati mati

Maksud judul sesuai peribahasa : turuné wong cilik bisa dadi wong gedhé, turuné wong gedhe ora bisa oleh kalungguhan dhuwur. Kalau sebagai kiasan artinya : prakara ala ngambra-ambra déné prakara becik kari sethithik.

Namanya bahasa, “turuné” bukan berarti tidurnya, tetapi “keturunannya”. Memang bisa bias dengan turuné wong cilik vs saréné wong gedhé.

Ciri utama atau karakter dasar wong gedhé adalah suka gèdhèg. Alias geleng-geleng kepala. Heran dengan dirinya sendiri, yang hati kecilnya merasa bukan dirinya sendiri. Malah ada yang bilang rai gedèg. Tak heran, di periode 2014-2019 banyak penguasa yang garang garing. Dengan aji mumpung vs mumpung aji, utawa sikap loyalitas total, total jenderal.

Masih dalam suasana kebahasaan, sebut saja peribahasa si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di pilpres 2019.

Nyaris lupa dengan kiasan judul yang artinya prakara ala ngambra-ambra déné prakara becik kari sathithik. Kalau diuraikan tak akan habis-habisnya. Karena kejadian dan perkaranya masih berlangsung selama éra mégatéga. Ada bentuk praktik lain, yaitu perkara besar yang merugikan negara sengaja ditutup-tutupi, namun sebaliknya, suara rakyat dengan segala modus, rekayasa sengaja diredupkan. Agar sayup-sayup tak sampai ke telinga penguasa. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar