modus
ujaran penguasa, tunggak jarak mrajak vs tunggak jati mati
Maksud judul sesuai peribahasa : turuné
wong cilik bisa dadi wong gedhé, turuné wong gedhe ora bisa oleh kalungguhan
dhuwur. Kalau sebagai kiasan artinya : prakara ala ngambra-ambra déné
prakara becik kari sethithik.
Namanya bahasa, “turuné”
bukan berarti tidurnya, tetapi “keturunannya”. Memang bisa bias dengan turuné
wong cilik vs saréné wong gedhé.
Ciri utama atau karakter dasar wong
gedhé adalah suka gèdhèg. Alias geleng-geleng kepala. Heran dengan dirinya
sendiri, yang hati kecilnya merasa bukan dirinya sendiri. Malah ada yang bilang
rai gedèg. Tak heran, di periode 2014-2019 banyak penguasa yang garang
garing. Dengan aji mumpung vs mumpung aji, utawa sikap loyalitas total,
total jenderal.
Masih dalam suasana kebahasaan,
sebut saja peribahasa si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn
tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di
pilpres 2019.
Nyaris lupa dengan kiasan judul yang
artinya prakara ala ngambra-ambra déné prakara becik kari sathithik. Kalau diuraikan tak
akan habis-habisnya. Karena kejadian dan perkaranya masih berlangsung selama éra
mégatéga. Ada bentuk
praktik lain, yaitu
perkara besar yang merugikan negara sengaja
ditutup-tutupi, namun sebaliknya, suara rakyat dengan segala modus, rekayasa
sengaja diredupkan. Agar sayup-sayup tak sampai ke
telinga penguasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar