Beri Petani
Traktor Tangan, Bukan Beras Impor
Kendati tiap awal tahun anggaran ditetapkan UU tentang
PANGAN, agaknya karena aspek tata niaganya di bawah kendali pengusaha, efek
dominonya semakin nyata.
Kebijakan pemerintah
agar setiap petani mempunyai lahan yang layak olah, tentu sebagai angin surga bagi
petani. Diperkuat dengan pembagian sertifikat tanah serta bantuan gratis
traktor tangan.
Lanjut dengan menyimak
satu alenia yang saya copas dari Buku Penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Pangan
dan Pertanian oleh Direktorat Pangan dan Pertanian, Deputi SDA dan Lingkungan
Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas :
Kebijakan yang mampu
menciptakan sistem inovasi nasional dalam upaya perbaikan teknologi dan
manajemen budidaya dan penanganan pasca panen padi. Inovasi teknologi dan
manajemen budidaya diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani (Good Agricultural Practices/GAP). Penggunaan traktor tangan
dan mesin penanam dengan skala yang tepat dapat mengurangi waktu dan biaya
penyiapan lahan dan penanaman padi. Sementara penanganan pasca yang lebih baik
diperlukan untuk mengurangi susut panen dan kehilangan hasil (Good Post
Harvest Handling Practices/GPHP). Peningkatan penyediaan alat/mesin
perontok yang dapat bergerak bebas (mobile thesher) dapat mengurangi kehilangan
hasil. Demikian pula penggunaan mesin penggiling padi dengan daya sosoh yang baik
akan dapat meningkatkan mutu beras yang dihasilkan.
Sayangnya, di Buku I,
II, dan III RPJMN 2015-2019, frasa “traktor tangan” tidak muncul. Yang muncul
malah kata “kontraktor”.
Karena RPJMN 2015-2019
merupakan penjabaran Trisakti dan Nawa Cita andalan kampanye Jokowi plus/minus
JK, maka sejak tahun pertama presiden langsung bagi-bagi traktor tangan ke
petani di seluruh Indonesia.
Cita-cita luhurnya,
adalah agar produktivitas panen padi meningkat menjadi 7-8 ton Gabah Kering
Giling (GKG). Sejauh ini rata-rata panen skala nasional 5,2 ton GKG.
Dari hasil pengendusan
tim sukses, relawan, garda terdepan pendukung, loyalis Jokowi, dengan survei
tanpa survei, dapatlah disimpulkan bahwa keprigelan tangan petani meningkat.
Minimal, apa yang
tersurat dan tersirat di atas, dapat terwujud. Ini sebagai prestasi sekalgus
prestise tersendiri pemerintah periode 2014-2019. Bahkan hanya satu tahun
pertama, katanya mampu mengalahkan produk beras nasional rata-rata per tahun
pemerintah SBY. Swasembada pangan terwujud, terukur dan memuaskan semua pihak.
Wajar kalau masih ada
Operasi Pasar, agar ketersediaan beras di pasar bebas, tidak minimal. Artinya,
rakyat sudah tidak bisa merasakan nikmatnya beras impor. Petani menjadi
sejahtera. Jargon “kalau mau sejahtera, jangan jadi petani” sudah usang. Jangan dimodifikasi menjadi “kalau rakyat
ingin makmur dan sejahtera, jadilah wakil rakyat”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar