Profil
Dendam dan Dengki Politik Nusantara
Pernah terjadi kejadian berlakunya
tindak kejahatan kriminal, pidana bernama kolor ijo. Tentunya jangan diartikan
bahwa kasus ini merupakan bagian integral dari pergerakan LGBT.
Rakyat tak mau tahu, apakah segala
bentuk ujaran kebencian oleh pejabat, sebagai pertanda ybs sedang sekarat. Sekarat
jiwa, hati, rohani. Atau mau ganti kulit, sehingga merubah emosi secara drastis.
Warna politik yang dominan di Indonesia
memang sangat dinamis, fluktuatif dan tergantung pasar. Katanya ketika
Pancasila sebagai ideologi negara. Karena disederhanakan menjadi kapling partai
politik. Tiap periode membawa identitas politiknya.
Keterpurukan perpolitikan terasa di éra
mégatéga, ketika yang namanya presiden karena bukan ketua umum sebuah partai
politik, makanya mendapat gelar kehormatan “petugas partai”.
Sejarah reformasi yang mulai dari
puncaknya 21 Mei 1998, menggelinding bebas tanpa kendali. Rambu-rambu kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dijungkirbalikkan. Kode etik berlalu
lintas ditentukan oleh siapa yang sedang merajai jalanan. Kepentingan umu kalah
dengan demi tegaknya wibawa negara.
Banyolan, degelan, humor politik
yang paling tidak luvu adalah perseteruan antar mantan presiden. Pekerjaan setan
ini tidak membedakan jenis kelamin. Justru makhluk yang dianggap lemah secara
kodrati, malah bisa lebih buas katimbang binatang buas yang ada di bumi. Buas politik.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar